Powered by Blogger.
Tuesday 2 August 2011

Jelang Puasa, Ribuan Guru di Surabaya Belum Terima Tunjangan

Sebanyak 1.054 guru dari 11.962 guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun swasta yang telah lulus sertifikasi guru di Kota Surabaya belum menerima tunjangan profesi pendidik (TPP) 2011.

Ketua Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Surabaya Baktiono, Ahad, mengatakan, 1.054 guru tersebut dinyatakan telah lulus sertifikasi berupa pelatihan maupun persyaratan yang telah ditentukan pemerintah sebagai seorang pendidik.

"Masalahnya guru-guru itu protesnya ke Surabaya (Dinas Pendidikan Surabaya) bukan ke pusat (pemerintah pusat). Padahal yang mencairkan TPP kan pemerintah pusat," katanya.

Menurut dia, keterlambatan tersebut tidak tersosialisaikan ke guru-guru yang belum menerima TPP tersebut. Sehingga mereka terus menagih janji ke pemerintah daerah.

Adapun rekapitulasi TPP 2011 yang sudah terbit meliputi 6.941 guru PNS dan 3.967 guru swasta. Sedangkan TPP 2011 yang belum terbit meliputi 557 guru PNS dan 497 guru swasta. Baktiono menjelaskan TPP semestinya diberikan setiap bulannya kepada guru bersangkutan, namun selama ini TPP selalu diberikan oleh pemerintah setiap tiga bulan sekali bahkan lebih.
(republika.co.id)

Wisuda Tanpa Kuliah adalah Pelacuran Dunia Pendidikan

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Maluku, Salim Kairoty, mengatakan kasus penerimaan mahasiswa baru yang langsung wisuda dan tanpa melalui proses perkuliahan merupakan sebuah tindakan pelacuran terhadap dunia pendidikan.

"Kalau ada orang yang sama sekali tidak sekolah dan tidak kuliah lalu diberikan ijazah atau diwisuda tidaklah dibenarkan. Sebab ini merupakan tindakan pelacuran terhadap dunia pendidikan," katanya di Ambon, Jumat (29/7).

Disdikpora juga mengimbau oknum yang sengaja melakukan proses pembodohan intelektual di masyarakat untuk memperkaya diri harus dihentikan. Karena dalam dunia pendidikan formal atau informal seperti kelompok bermain, TK, SD hingga perguruan tinggi tetap melalui proses belajar mengajar.

"Tindakan yang merendahkan etika-etika pendidikan tanpa melalui jalur-jalur yang semestinya harus dihentikan, karena merupakan pembodohan intelektual terhadap masyarakat," kata Salim.

Kasus seperti ini dilakukan oleh oknum pengelola Universitas Graha Ga Utama Kabupaten Dobo, Maluku, yang diduga kuat telah melakukan penipuan terhadap puluhan calon mahasiswa. Kasus ini mencuat berdasarkan laporan ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Kepulauan Aru, Djukut Jonatan. Oknum tersebut mematok Rp 15 juta per calon mahasiswa dengan janji langsung diwisuda sarjana lengkap tanpa melalui proses perkuliahan.

Menurut Salim, hal seperti ini sudah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 67 UU tersebut menyatakan perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi tanpa hak diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

"Untuk perguruan tinggi yang sudah ditutup tapi masih tetap beroperasi saja dipidana, jadi kasus di seperti itu tidak boleh terjadi," tegas Salim. (republika.co.id)
Tuesday 26 July 2011

Duh, dari 237 Juta, Baru 5,2 Juta Orang Indonesia yang Mampu Kuliah

Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengatakan pemerintah tengah menggenjot angka partisipasi kasar (APK) untuk tingkat perguruan tinggi. Saat ini, APK perguruan tinggi nasional baru mencapai 26 persen. “Ke depan mau kami genjot sampai 36 persen hingga 2014,” ujar Nuh usai pelantikan pejabat eselon I Kementerian Pendidikan Nasional di kantornya, Senin 25 Juli 2011.

Angka 26 persen tersebut menunjukkan saat ini baru ada sekitar 5,2 juta penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Sementara, APK untuk SMA/SMK mencapai 60 persen, APK SMP 80 persen. dan SD memiliki APK paling tinggi, yakni 117 persen. “Kalau begitu berarti piramidanya harus kita tata dari yang SMK,” kata Nuh.

Caranya, kata dia, adalah dengan membenahi kemampuan siswa tingkat SMA/SMK agar berkeinginan melanjutkan ke pendidikan tinggi. Dukungan pembiayaan juga rencananya akan ditingkatkan dengan ditambahnya dana Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) SMA/SMK.

Nuh mengakui saat ini dana BOMM SMA/SMK masih jauh dari memadai. Untuk tahun ini Kementerian Pendidikan Nasional menganggarkan dana BOMM untuk siswa SMA dari Rp 120 ribu menjadi Rp 90 ribu dan SMK dari Rp 90 ribu menjadi Rp 60 ribu. “Sewaktu sekolah dasar kami beri dana BOS (bantuan operasional sekolah), APK langsung naik. Diharapkan nanti akan terjadi hal yang sama,” katanya.

Namun, saat ini pihaknya masih membahas perencanaan anggarannya. Kapan akan ada peningkatan dana BOMM juga belum ditetapkan waktunya. Cara lain peningkatan APK, kata Nuh, adalah dengan menambah jumlah SMA/SMK di tiap-tiap daerah. Sebab, saat ini masih banyak siswa yang tidak melanjutkan sekolah karena faktor lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya.

“Jarak jauh jadi penghambat. Nanti kami desain sesuai dengan jumlah populasi di tiap kecamatan dan lihat kontur geografisnya,” kata Nuh lagi.

(tempointeraktif.com)

Biaya Mahal Picu Angka Putus Sekolah

Kementerian Pendidikan Nasional mengaku kesulitan menekan jumlah siswa miskin di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta.

Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah.

Menurut Nono, biaya sekolah yang relatif mahal ditengarai menjadi penyebab utama tidak berdayanya para siswa miskin melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kesulitan ini semakin berat dengan adanya keharusan membayar uang pangkal, membeli buku tulis, seragam sekolah, dan buku pelajaran. Hal-hal tersebut merupakan beberapa indikator pemicu biaya sekolah menjadi mahal.

"Siswa di SMP, hanya 23 persen yang mampu meneruskan ke tingkat SMA. Sisanya tidak bisa meneruskan, di antaranya ada yang terpaksa bekerja," ujar Nono ketika menjadi narasumber dalam lokakarya "Membedah Pembiayaan Pendidikan", Sabtu (23/7/2011) di Bandung.

Pada umum, menurut Nono, para siswa miskin berasal dari daerah rawan kemiskinan seperti daerah terpencil, pesisir pantai, perkampungan padat penduduk, serta sejumlah tempat di daerah aliran sungai. Untuk menekan angka tersebut, Nono mengaku sudah menganggarkan beasiswa Rp 2,1 triliun. Adapun di tingkat SMP dianggarkan dana Rp 3,9 triliun.

"Jumlah itu di luar anggaran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang tahun ini mencapai Rp 16 triliun,” ujarnya.

Memengaruhi pendidikan tinggi


Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Mustasfirin menyesalkan sulitnya menekan angka siswa putus sekolah. Semakin ironis karena secara umum tingginya angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah berpengaruh pada jumlah siswa yang akan melanjutkan ke bangku perkuliahan. Ia menegaskan, pendidikan menengah menjadi sangat penting untuk menunjukkan tiga hal. Pertama, sebagai penunjang kebangkitan kelas menengah. Kedua, sebagai pondasi pendidikan. Ketiga, sebagai wujud realisasi pembangunan pendidikan itu sendiri.

"Jadi kita sulit bicara mengenai pendidikan tinggi yang bermutu kalau pendidikan menengah tidak diperhatikan," kata Mustasfirin.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dikti Kemdiknas Haris mengungkapkan, pihaknya selalu berharap mempunyai kualitas pendidikan tinggi sekelas Amerika. Namun,   biaya pendidikan di Indonesia yang dinilainya masih sangat murah memengaruhi mutu dan daya saing Dikti. Selain itu, biaya yang murah juga menjadi kendala untuk maju.

"Jika pakai sentimental, saya juga ingin nangis dengan kondisi ini. Menggantung harapan menginjak bumi. Mencerdaskan bangsa itu cita-cita dan kita bergerak ke arah sana. Saya prihatin karena anak miskin sudah gugur di pendidikan menengah," tandasnya.

Sehari sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, pendidikan yang bermutu harus ditunjang biaya yang sesuai. Pembiayaan pendidikan yang mahal, murah, ataupun gratis bukanlah sebuah masalah. Yang terpenting adalah tidak berimplikasi pada hak-hak dasar.

"Taruhlah wajib belajar 9 tahun, ada indikasi hak dasar. Oleh karena itu, kementerian dan pemerintah daerah harus lebih serius tangani hak-hak dasar. Pasalnya, jika biaya ini sampai di luar batas, hal itu akan berimplikasi dan mulai terkait dengan hak dasar itu sendiri," ujarnya.

(kompas.com)

Diterima, tapi Terhenti di Pintu Kampus

Tiga siswa Sekolah Terbuka Yayasan Bina Insan Mandiri Kota Depok sedang gelisah. Mimpi meraih pendidikan tinggi negeri sudah ada di depan mata. Mereka lolos seleksi dengan jalur beragam.
Dodi Dores (19), Muhammad Muar (19), dan Tutik Pujiati (20) kini berusaha menggenggam mimpi mereka agar tidak lepas.

Mereka tidak ingin seperti tahun sebelumnya, ketika beberapa teman mereka gagal masuk perguruan tinggi negeri karena tidak ada biaya. Persoalan biaya bukan hal baru bagi siswa Sekolah Terbuka Yayasan Bina Insan Mandiri. Bisa dimaklumi, sekolah yang ada di tengah Terminal Depok itu merupakan sekolah gratis bagi kaum miskin.
Dodi Dores, anak tukang ojek, lolos seleksi masuk Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI). Impiannya menjadi diplomat sudah di ambang pintu setelah menjalani seleksi masuk UI. Namun, kegelisahan muncul ketika dia belum mendapat kepastian mengenai biaya kuliah.

Senin (25/7) siang, Dodi bepergian bersama Ketua Yayasan Bina Insan Mandiri Nurrohim untuk mencari donatur kuliahnya. Dia pulang sekolah petang hari ketika rasa gelisahnya masih belum hilang. Dodi masih terbayang ketika menelusuri informasi biaya pendaftaran dari situs https://penerimaan.ui.ac.id. Saat membukanya pada 19 Juli, muncul nilai Rp 5 juta sebagai biaya pendaftaran. Namun, ketika dia memencet BOPB (biaya operasional pendidikan berkeadilan), nilai biaya pendaftaran itu hilang. Biayanya secara detail baru muncul pada 27 Juli.

”Duit dari mana, saya tidak tahu,” kata Dodi ketika ditemui di Kantor Yayasan Bina Insan Mandiri.....

Selengkapnya, baca Harian Kompas, 26 Juli 2011. 
(kompas.com)
Saturday 23 July 2011

15 Kasus Diskriminasi Pendidikan terhadap Anak di Sumut

Kasus-kasus diskriminasi terhadap anak masih terus terjadi, termasuk dalam bidang pendidikan. Di Sumatera Utara (Sumut), setidaknya terdapat 15 kasus diskriminasi terhadap anak di dunia pendidikan.

Direktur Eksekutif Yayasan KKSP (Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak) Muhammad Jailani mengatakan, kasus-kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan tersebut, terutama berkenaan dengan penerimaan siswa baru maupun akses untuk bersekolah.

"Di Kota Padang Sidempuan misalnya, ada anak yang ditolak mendaftar di sekolah menengah kejuruan karena cacat kaki. Pihak sekolah menyatakan penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota," kata Jailani dalam diskusi refleksi Hari Anak Nasional yang berlangsung di Kantor KKSP Jl. Stella III, Medan, Sabtu (23/7/2011).

Menurut Jailani, kondisi ini merupakan pelanggaran pada hak anak dalam pendidikan. Semestinya UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga UU Sistem Pendidikan Nasional menjamin tidak ada diskriminasi dalam pendidikan.

Dalam kasus Sumut, kata Jailani, diskriminasi dalam bidang pendidikan itu tidak saja terjadi terhadap anak-anak cacat, tapi juga terhadap orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya biaya. Terlebih untuk mengakses sekolah-sekolah yang mengubah statusnya menjadi Rintisan Sekolah Berstatus Internasional (RSBI).

"Data yang kami miliki menunjukkan adanya pengutipan-pengutipan kepada orang tua dari pihak sekolah, terutama RSBI, yang nilainya sampai jutaan rupiah," ujarnya.

Berbagai persoalan di dunia pendidikan yang terjadi selama ini, termasuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan ujian nasional, diharapkan menjadi bahan refleksi bagi negara, terutama ketika memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Apalagi Badan khusus PBB untuk Hak Anak telah mengingatkan dan merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses pendidikan pada anak tanpa diskriminasi.

"Kita berharap hari anak nasional tidak saja dirayakan begitu saja tanpa makna sama sekali. Seharusnya Hari Anak Nasional menjadi momen refleksi bagi pemerintah apakah sudah mematuhi kewajibannya dalam memenuhi hak-hak anak khususnya hak anak atas pendidikan," papar Jailani.
(detik.com)

Banyak Penyimpangan pada PPDB, Disdik Kota Bekasi Didemo Mahasiswa

Jalur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2011/2012 melalui jalur bina lingkungan terus menuai kontroversi. Setelah evaluasi yang mempertemukan Kepala Dinas Pendidikan Kota Bekasi Encu Hermana dengan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) berujung tanpa hasil, pada Jumat (22/7), Kantor Disdik Kota Bekasi didemo puluhan mahasiswa.

Berbagai elemen mahasiswa yang tergabung dalam Front Rakyat untuk Revolusi Kota Bekasi menuntut pengusutan tuntas mafia pendidikan, pengungkapan anggota DPRD Kota Bekasi yang terlibat dalam percaloan pendidikan di Kota Bekasi, serta penciptaan pendidikan berkualitas dan berkeadilan bagi warga miskin Kota Bekasi.

"Dengan ini kami menyatakan mosi tidak percaya terhadap sistem pemerintahan Kota Bekasi, termasuk di dalamnya pihak eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Janji saat kampanye untuk membuka akses pendidikan bagi warga demi tercapainya visi Bekasi Cerdas hanya kebohongan publik belaka," kata Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Farid Hardiman.

Farid mengatakan, pihaknya telah mengantongi sejumlah bukti yang memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang bermaksud mengakses pendidikan. Bukti itu juga sekaligus memperlihatkan penyalahgunaan PPDB jalur melalui bina lingkungan yang dimanfaatkan siswa-siswa titipan eksekutif dan legislatif.

Salah satunya ialah aduan dari 26 orang tua siswa yang gagal menyekolahkan anak-anaknya di SMPN 18 Kota Bekasi. Padahal lokasi tempat tinggal mereka berdekatan dengan sekolah. Mereka yang resah karena sudah memenuhi persyaratan yang diminta, kemudian mengadu kepada anggota DPRD Kota Bekasi, tapi tak ditanggapi.

"Kami yakin hal demikian tak hanya terjadi di SMPN 18, tapi juga sekolah-sekolah lainnya. Namun orang tua yang dirugikan terlanjur apatis sehingga tak melapor. Aduan yang sudah masuk ini akan kami kawal terus untuk selanjutnya dilaporkan ke Kementerian Pendidikan Nasional," kata Farid lagi.

Sesuai ketentuan pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis PPDB, jalur bina lingkungan yang kuotanya sebesar 12,5 persen diperuntukkan bagi warga sekitar sekolah.

Namun pada kenyataannya, jalur tersebut dimanfaatkan eksekutif dan legislatif untuk memasukkan siswa yang lokasi tempat tinggalnya belum tentu berdekatan dengan sekolah. Jumlah siswa yang dititipkan pun membengkak hingga dua kali lipat dari kuota yang sudah ditentukan.

Lebih lanjut Farid mengatakan, penyimpangan pelaksanaan PPDB hanya contoh kecil dari ketidakbecusan pemerintah dalam melayani warganya. Untuk itu, Front Rakyat untuk Revolusi Kota Bekasi pun akan membuka pusat krisis untuk menampung aduan-aduan yang masuk dari masyarakat. "Tak harus di bidang pendidikan, tapi seluruh segi. Kami buka layanan aduannya mulai Minggu (24/7)," katanya.
(pikiran-rakyat.com)

Astaga! Daftar Ulang PMDK di Universitas Jember Harus Bayar Rp 120 Juta

Biaya daftar ulang siswa yang dinyatakan lolos seleksi jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Universitas Jember (Unej) tahun 2011 di Fakultas Kedokteran mencapai Rp120 juta.

Kepala Humas dan Protokol Unej, Rochani, Jumat, mengatakan calon mahasiswa baru yang dinyatakan lolos seleksi jalur PMDK harus membayar biaya daftar ulang berupa sumbangan pengembangan institusi (SPI) dan sumbangan pengembangan akademik (SPA).

"Besarnya biaya daftar ulang SPA dan SPI di masing-masing fakultas tidak sama, namun tertinggi di Fakultas Kedokteran yang totalnya mencapai Rp120 juta," tuturnya.

Unej menerima sebanyak 735 calon mahasiswa baru melalui jalur PMDK, namun hampir tiap tahun Fakultas Kedokteran Unej masih menjadi pilihan favorit bagi calon mahasiswa baru jalur PMDK.

Menurut Rochani, besarnya biaya daftar ulang tersebut sudah diketahui oleh peserta pada saat mendaftar secara dalam jaringan ("online") di laman yang sudah ditentukan oleh panitia. "Besarnya biaya SPA dan SPI di sejumlah fakultas Unej sudah diketahui oleh calon mahasiswa baru jalur PMDK, sehingga mereka bisa mengukur kemampuan orang tua masing-masing," katanya.

Besarnya sumbangan SPI bervariasi antara lain Fakultas Kedokteran sebesar Rp100 juta, Kedokteran Gigi sebesar Rp50 juta, Farmasi sebesar Rp15 juta, Sistem Informasi sebesar Rp15 juta, dan Ilmu Keperawatan sebesar Rp10 juta.

"Rata-rata biaya daftar ulang fakultas bidang kesehatan agak mahal, namun untuk bidang sosial seperti FISIP, Sastra, dan Ekonomi biaya SPInya sebesar Rp3 juta," ucapnya. Selain membayar SPI, kata dia, peserta yang dinyatakan lolos seleksi jalur PMDK harus membayar biaya SPA dengan nominal yang bervariasi berkisar Rp5 juta hingga Rp20 juta.

"Biaya SPA tertinggi di Fakultas Kedokteran yang mencapai Rp20.890.000,00, kemudian disusul Fakultas Kedokteran Gigi sebesar Rp15.890.000,00, dan Farmasi sebesar Rp13.090.000,00," paparnya.

Rochani menjelaskan peserta harus membayar biaya daftar ulang berupa SPI dan SPA sekaligus, dan calon mahasiswa baru yang lolos jalur PMDK tidak diperkenankan untuk mengangsur biaya daftar ulang. Daftar ulang peserta jalur PMDK digelar di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Kampus Tegalboto, pada 21-23 Juli 2011. 
(republika.co.id)
Thursday 21 July 2011

Pendidikan Mahal, Banyak Anak Tidak Sekolah

Wali Kota Sorong Drs JA Jumame tidak bersedia mengomentari makin tingginya biaya pendidikan di daerah ini sehingga sejumlah orangtua terpaksa tak menyekolahkan anak-anaknya karena tidak punya cukup uang. Sekolah-sekolah di Kota Sorong, mulai dari TK hingga SMU sederajat, mematok uang pendaftaran jutaan rupiah.

Untuk uang pendaftaran TK, rata-rata 1 hingga Rp 1,5 juta, SD Rp 1,7 juta hingga Rp 2 juta, SMP Rp 3 juta, dan SMU tak kurang dari 3,5 juta per anak.

Tagihan uang pendaftaran SD, SMP, dan SMU tersebut berlaku baik bagi sekolah negeri maupun swasta di Kota Sorong. Untuk sekolah negeri, alasan pihak sekolah menarik uang pendaftaran dari orangtua murid adalah untuk uang pembangunan. Lalu uang yayasan bagi sekolah swasta, atau alasan lain untuk uang buku tulis, uang seragam sekolah, dan atribut lainnya.

Khusus untuk SD dan SMP, sebenarnya sudah ada dana bantuan operasional sekolah (BOS). Namun, bantuan itu tidak dirasakan artinya oleh orangtua siswa. Mereka justru mempertanyakan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang menyebutkan bahwa sekolah penerima dana BOS dilarang melakukan pungutan dengan alasan apa pun.

"Nyatanya semua sekolah di Kota Sorong, apakah itu negeri atau swasta, termasuk yang menerima dana BOS, melakukan pungutan yang memberatkan masyarakat. Mereka memungut uang pendaftaran yang sangat tinggi, sehingga banyak warga miskin atau tidak mampu memutuskan tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Yang lain terpaksa menyekolahkan anaknya di sekolah pinggiran kota yang membutuhkan siswa," kata Tontji S, Ketua Forum Mahasiswa Papua Barat wilayah Sorong kemarin.

Warga kurang mampu di Kota Sorong saat ini menganggap sekolah-sekolah yang berkualitas di kota itu hanya milik anak pejabat, pengusaha, dan orang berduit lainnya. Sedangkan warga kurang mampu, hanya bisa bersekolah di daerah pinggiran kota di sekolah-sekolah yang membutuhkan banyak siswa/siswi baru.

Ny Sonia, warga Kota Sorong lainnya, menyebutkan, sekolah-sekolah mulai dari SD hingga SMP di Kota Sorong belakangan ini juga terkesan berbisnis pakaian seragam sekolah, buku tulis, dan buku-buku cetak. Dana BOS yang dikucurkan pemerintah ternyata tidak membantu warga kurang mampu di daerah itu.
 
Ia minta BPK memeriksa penggunaan dana BOS di Kota Sorong karena diduga ada yang tidak beres dalam penggunaan anggaran pemerintah tersebut.

(suarakarya-online.com)
Tuesday 19 July 2011

Pemerintah tak Peduli, Siswa Pintar Lari ke Luar Negeri

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dinilai kurang peduli dan tidak memperhatikan para siswa-siswa berprestasi, khususnya para pemenang olimpiade. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pemenang olimpiade yang dijanjikan mendapatkan beasiswa, namun hingga lulus belum menerima beasiswa apa pun dari pemerintah.

Dengan kondisi demikian, pengamat pendidikan Arief Rahman mengatakan, jangan salahkan siswa-siswi berprestasi jika harus hijrah ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang baik.

“Jadi di dalam dunia global, semua orang tentunya akan mencari institusi yang baik untuk dirinya. Jika seseorang memiliki potensi prima, tentunya akan mencari universitas yang prima. Nah, kebetulan negara-negara tetangga kita jeli, Indonesia ini tempatnya berlian-berlian yang bisa dituai oleh mereka sehingga bisa mereka manfaatkan, bahkan bisa bekerja di negara tersebut. Tetapi Indonesia seakan-akan tetap kurang peduli,” ungkap Arief kepada JPNN di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Selasa (19/7).

Disebutkan, tidak sedikit lulusan berprestasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang lebih memilih bekerja di Malaysia dan memperkokoh kekuatan negara Malaysia. Seharusnya, ini harus menjadi strategi pembangunan pendidikan terhadap alumni-alumni pendidikan Indonesia.

“Pemerintah harus bisa menahan mereka di Indonesia dengan memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih unggul daripada di luar negeri. Ironisnya, hampir tidak ada beasiswa atau pun penghargaan negara kepada orang-orang berprestasi kita. Peneliti-peneliti yang melakukan penelitian saja kurang dihargai,” tukasnya.

Sebelumnya, Stephen Haniel, siswa SMAN 1 Purwokerto, mengungkapkan, telah menjadi rahasia umum janji beasiswa di Kemdiknas kepada pemenang olimpiade hanya pepesan kosong. Ia menyatakan itu, karena ada temannya yang juga peraih olimpiade internasional hampir drop out (DO) karena masalah beasiswa itu. "Saya dapat kabar dari teman saya yang kuliah di luar negeri. Dia nyaris DO karena beasiswa dari Kemendiknas belum juga turun," ujarnya.

(JPNN.COM)

Aktivis Gresik Protes Pendidikan Mahal

Belasan aktivis dari Aliansi Peduli Pendidikan dan Anak, Pattiro, Koalisi Perempuan Gresik, dan Persatuan Guru Tidak Tetap Gresik, Selasa (19/7) berunjuk rasa ke Kantor Dinas Pendidikan Gresik di Jalan Arif Rahman Hakim dan DPRD Gresik.

Mereka menuntut pendidikan murah. Selain berorasi secara bergantian mereka juga membukukan tandatangan bersama sebagai bentuk keprihatinan atas belum meratanya akses pendidikan bagisemua elemen masyarakat.

Kordinator aksi Harry Sulistyo mengatakan, banyaknya sekolah berstatus/model Rintisan Sekolah Berstandar Internasional, Sekolah Standar Nasional memicu pelegalan mahalnya biaya sekolah dan biaya akses pendidikan.

Aturan lokal maupun regulasi pemerintah juga turut memicu komersialisasi dan deskriminasi dalam dunia pendidikan. Aliansi Peduli Pendidikan dan Anak menemykan sekitar 800 kasus pada dunia pendidikan yang menyebabkan siswa dan orangtuanya hanya pasrah dan tidak bisa menolak komersialisasi pendidikan.

Kepala Bidang Dasar Menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik Edi Sartono menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti dan segera berkoordinasi dengan staf. Kami akan segera mengecek dan mengklarifikasi ke lapangan. Jika ditemukan ada komersialisasi pendidi kan. Unit Pelaksana Teknis Daerah di kecamatan akan segera memanggilnya.Ada sanksi bagi oknum guru atau kepala sekolah yang mengkomersialisasi pendidikan, tuturnya.

Dalam data yang disampaikan ke Dinas Pendidikan, pengunjuk rasa melampirkan sejumlah kasus praktik yang dinilai tidak adil di dunia pendidikan. Praktik tidak adil itu mulai dari proses penerimaan siswa baru, penahanan ijazah, hingga jual beli bangku koson g, serta banyak siswa siluman yang tadinya tidak diterima di sekolah negeri. Masalah pungutan terkait seragam dan buku yang memberatkan juga disertakan.
(kompas.com)
Monday 18 July 2011

Mahasiswa Baru UGM Minta Keringanan Biaya

Ruang Direktorat Keuangan Universitas Gadjah Mada atau UGM di Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta, Senin (18/7), ramai didatangi mahasiswa baru. Tak kurang dari 500 mahasiswa baru silih berganti mendatangi ruang ini untuk meminta keringanan biaya pendidikan karena dinilai terlalu memberatkan.

Seperti tahun sebelumnya, UGM mematok biaya sumbangan peningkatan mutu akademik berkisar Rp 5 juta hingga Rp 100 juta, tergantung jurusan dan fakultas yang dipilih. Sumbangan paling tinggi tercatat di jurusan pendidikan dokter, Fakultas Kedokteran, yang mencapai Rp 100 juta per mahasiswa.

Biaya tersebut belum termasuk SPP sebesar Rp 500 ribu dan biaya operasional pendidikan atau BOP Rp 60 ribu hingga Rp 75 ribu per sks. Biaya tersebut harus dibayar setiap semester.

Sejumlah orangtua mahasiswa baru menilai biaya pendidikan terlalu memberatkan. "Saya menunggu jawaban apakah diberi keringanan atau tidak," kata Adi, orangtua mahasiswa baru. "Jika tidak, anak saya tidak melanjutkan karena saya tidak mampu."

Namun, Direktur Keuangan UGM, Haryono, mengatakan, biaya pendidikan yang dikenakan tak terlalu mahal dan masih di bawah standar Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bahkan, pihak kampus terus mengupayakan berbagai beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu untuk meringankan beban mereka.

Potret tingginya biaya pendidikan juga terjadi di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Untuk calon mahasiswa dari jalur Seleksi Masuk Universitas Padjajaran atau SMUP, pihak kampus mematok dana pengembangan pendidikan bervariasi, mulai belasan hingga ratusan juta rupiah.

Selain melalui jalur SMUP, Unpad juga menerima calon mahasiswa dari jalur reguler, seperti seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri atau SNMPTN, jalur undangan, dan bidik misi. Meski membayar lebih, mahasiswa dari jalur SMUP tidak mendapatkan fasilitas lebih dibanding mahasiswa yang masuk melalui jalur seleksi lainnya.

(liputan6.com)

Pendidikan Mahal, Presiden Jangan Berdiam Diri

Presiden harus segera mengambil sikap tegas mengenai mahalnya biaya pendidikan saat ini utamanya biaya masuk perguruan tinggi negeri yang bisa mencapai ratusan juta rupiah.

"Pemerintah tidak bisa membiarkan PTN mengambil tindakan yang dianggap membebani masyarakat," ujar pakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin, di Jakarta, Senin (18/7/2011).

Irmanputra mengatakan, pendidikan itu adalah amanah konstitusi. Presiden secara afirmasi memiliki kewajiban untuk membebaskan biaya pendidikan sampai dengan perguruan tinggi.

"Mahalnya biaya pendidikan masuk PTN yang dibebankan oleh PTN kepada siswa, presiden tidak boleh berdiam diri," ujar Irman.

Menurutnya, pembebanan biaya pendidikan kepada siswa harus disikapi dan diperhatikan baik-baik oleh presiden karena ini bagaimanapun terkait dengan target untuk mencapai dan memberikan hak-hak warga negara atas pendidikan.

Hal ini jelasnya juga sesuai dengan pasal 28 UUD 45 bahwa tercapainya hak-hak pemajuan, pemenuhan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia termasuk didalamnya adalah hak pendidikan ada pada presiden.

"Pasal 28 UUD menegaskan bahwa tanggung jawab pemenuhan hak-hak asasi warga negara termasuk di bidang pendidikan itu ada pada presiden. Jadi kalau presiden tidak memenuhi artinya presiden bisa dianggap melanggar sumpah jabatan. Kalau presiden tidak mau dianggap seperti itu maka presiden harus benar-benar memperhatikan beban biaya pendidikan yang kini ternyata membenani, padahal seharusnya itu tidak terjadi," jelasnya.

Oleh karenanya jelas Irman lagi,  presiden tidak bisa menganggap persoalan ini bukan persoalan serius karena ini menyangkut hak-hak konstitusional warga negara. Konstititusi memberikan afirmasi bahwa pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan Indonesia kedepan harus dimulai di bidang pendidikan.
(trubunnews.com)

Rekening Liar Kemdiknas Masalah Serius

Anggota Komisi X DPR Rohmani mengatakan, temuan 43 rekening liar di Kementerian Pendidikan Nasional bukan perkara sederhana. Menurutnya, temuan ini menjadi indikasi bahwa pendidikan nasional belum dikelola dengan serius dan transparan. Sumber persoalan, katanya, justru ada di pengambil kebijakan, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional.

"Rekening liar ini bukan perkara sederhana," kata Rohmani kepada Kompas.com, Senin (18/7/2011).

Ia pun memberikan sejumlah catatan atas temuan BPK. Pertama, adanya rekening liar itu  menyangkut tata aturan yang telah dilanggar. Kedua, tata kelola keuangan negara yang berada di Kemdiknas sangat buruk sehingga terjadi rekening liar. "Hal ini memungkinkan terjadinya praktik-praktik melanggar hukum," ujar Rohmani.

Ketiga, ditengah jeritan rakyat Indonesia yang mengeluh tidak bisa masuk perguruan tinggi, pada saat yang bersamaan ditemukan rekening liar di Kemdiknas. "Tentu, hal ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Ini tidak bisa kita pandang sebagai persoalan sederhana. Dugaan saya pemerintah sudah menertibkan segala bentuk rekening liar karena dalam sejarahnya rekening liar itu selalu membawa masalah. Kemdiknas sebagai pemangku kebijakan pendidikan telah lalai. Ini persoalan serius,” katanya.

Menurut Rohmani, Kemdiknas harus segera melakukan klarifikasi terhadap temuan BPK tersebut. "Kemdiknas harus membuka persoalan ini ke masyarakat,agar masyarakat tahu persoalan sesungguhnya," ujarnya.

Ia juga berharap penegak hukum menindaklanjuti temuan ini. Komisi X sendiri akan mempertanyakan mengenai hal ini kepada Menteri Pendidikan Nasional M Nuh.

"Sebagai mitra Kemdiknas, Komisi X akan mempertanyakan ini. Yang jelas kami ingin persoalan ini terang benderang agar masyarakat tidak semakin skeptis melihat berbagai persoalan pendidikan kita,” kata Rohmani.   

Dalam keterangan pers BPK, Rabu lalu, diungkapkan bahwa 43 rekening liar itu terdapat di sejumlah perguruan tinggi negeri. Empat puluh tiga rekening liar itu berasal dari Politeknik Negeri Semarang sebanyak 2 rekening senilai Rp 146,24 juta, Universitas Lampung 1 rekening sebesar Rp 8,34 juta, Politeknik Negeri Jakarta 4 rekening senilai Rp 1,32 miliar.

Lainnya, Universitas Negeri Semarang 3 rekening senilai Rp 18,38 miliar, Politeknik Negeri Ujung Pandang 5 rekening senilai Rp 232,36 juta, Politeknik Negeri Lampung 2 rekening Rp 104,49 juta, Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel 4 rekening senilai Rp 3,95 miliar, dan Universitas Hasanuddin 22 rekening senilai Rp 2,29 miliar.

(kompas.com)
Sunday 17 July 2011

Biaya Sekolah, Kok Mahal….!

Bangsa yang maju adalah bangsa yang terdidik, tentunya melalui sekolah, dengan sekolah seseorang bisa terdidik. Setiap orangtua pasti berkeinginan menyekolahkan anaknya.

Namun, kesempatan bersekolah tidak semua dimiliki anak-anak bangsa ini, alasannya biaya sekolah mahal, sebuah alasan klasik yang itu-itu saja dari tahun ke tahun. Keadaan demikian, memang sebuah elegi sekaligus menjadi ironi yang memprihatinkan, sebab bagaimana bangsa ini bisa maju tanpa pendidikan. Alhasil, kesempatan menikmati pendidikan formal hanya untuk orang-orang berduit, kesempatan yang sama bagi setiap warga negara jelas menjadi fakta sebuah ketidakadilan. Biaya sekolah yang mahal menjadi berita yang traumatik bagi warga yang tidak mampu, walaupun mereka sadar bahwa mengikuti pendidikan menjadi bagian hak setiap warga negara. Tapi ketidakberdayaan rakyat karena masih bergelut dengan kemiskinan, menjadi sebuah fakta anak-anak bangsa yang tidak atau putus sekolah.

Biaya sekolah, kok mahal…! Bukankah sekolah gratis? Tetapi kenapa dibilang mahal? Benar, sekolah SD dan SMP gratis, sebab masuk wajib belajar 9 (sembilan) tahun yang merupakan program pemerintah.  Tapi bagaimana biaya sekolah SMA dan perguruan tinggi, semisal masih ada SMA negeri di kota Medan dalam penerimaan mahasiswa baru tahun ini memberlakukan uang pendaftaran dengan biaya tinggi, dengan dalih biaya seragam dan paket buku, kemudian uang komite per bulan. Dapat dibayangkan untuk orang miskin tak mungkin lagi masuk dalam sekolah tersebut. Akhirnya biarpun nilai bagus, tapi kemudian harus gigit jari.

Demikian halnya sekolah dengan perguruan tinggi tak kalah mahalnya. Khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah berubah status menjadi  BHMN, perubahan status PTN dimaksud bahwa perguruan tinggi tersebut tidak lagi menerima subsidi operasional dari pemerintah, sehingga PTN berstatus BHMN mencari sendiri pendanaan operasionalnya dari mahasiswa. Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ditambah lagi uang sumbangan ini dan itu padahal sudah lulus melalui jalur undangan.

Mahal

Bila pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Di negara-negara maju, bahkan di Malaysia, menurut putra-putri Indonesia yang bersekolah di sana masih relatif terjangkau, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.

Gambaran demikian, seolah menerjemahkan kepada publik bahwa anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka hanya berhak sekolah sampai setingkat SMP saja. Akhirnya yang miskin tak beranjak dari kemiskinannya, yang bodoh tak keluar dari lingkaran kebodohan yang mengungkungnya. Calon mahasiswa yang akan masuk perguruan tinggi negeri membuat traumatis bagi mereka yang kurang mampu. Mereka tak mungkin siap menanggung beban biaya pendidikan yang harganya mahal. Sewajarnya memang komersialisasi pendidikan yang selalu diributkan oleh mahasiswa. Pendidikan saat ini udah jadi barang mewah. Boleh dibilang pendidikan harganya seperti barang kebutuhan tersier aja, mahal sungguh mahal. Tentunya cuma mereka yang berkantong tebal yang bisa nangkring di PTN. Sementara buat kebanyakan rakyat negeri ini yang memiliki penghasilan rata-rata yang masuk kategori kelas menengah ke bawah, bagai pungguk naik ke bulan alias hanya merajut mimpi saja.

Biaya pendidikan yang mahal, sebuah anomali dari tujuan bangsa yang termaktub dalam konstitusi negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang.

Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.

Persoalan biaya pendidikan yang mahal kiranya menjadi perhatian dan pemikiran bagi pemerintah pusat dan daerah. Marilah kita memikirkan lagi kebijakan pendidikan mahal ini apakah masih perlu kita lanjutkan atau dilakukan perubahan. Dengan kebijakan mahal ini jangan harap akan ada transformasi dari kalangan bawah menuju kondisi yang lebih baik.
Oleh:  Abi Jumroh Harahap
(analisadaily.com)

Mahalnya Biaya Perguruan Tinggi

Empat siswi pintar dari SMAN 2 Kota Payakumbuh, SMAN 1 Harau, dan SMAN 1 Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota, terancam tidak bisa mendaftar kuliah di Universitas Andalas dan Universitas Riau, gara-gara keterbatasan ekonomi. Siapa mau peduli? (Padang Ekspres, 5 Juli 2011).

Pendidikan Indonesia kini memasuki fase baru. Suatu fase yang dinamakan komersialisasi pendidikan. Dalam tahap tersebut pendidikan menjadi komoditi mahal yang tak terjangkau. Khususnya perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Setelah 65 tahun merdeka, pendidikan tidak hanya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Melainkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi pihak-pihak tertentu melalui uang masuk kuliah.

Bila diamati uang masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata tak kalah mahalnya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta yang ada. Pada saat swasta menetapkan uang masuk kuliah yang mahal, kita masih dapat memahaminya karena swasta tidak dibantu oleh negara dalam masalah pendanaan. Namun sungguh ironis jika PTN juga menetapkan hal uang masuk yang mahal. PTN dalam menyelenggarakan pendidikan, pendanaannya dibantu oleh negara. Lalu siapakah yang dapat disalahkan? Pihak kampus sebagai pembuat kebijakan uang masuk kuliah atau negara yang tak mampu membiayai PTN sepenuhnya?

Diskriminasi PendidikanUang masuk kuliah saat ini mencapai puluhan juta rupiah. Misalnya di Unand (tempat penulis berkuliah). Sejak tahun 2009, Unand telah menetapkan suatu kebijakan yang mengharuskan mahasiswa baru membayar dana pengembangan institusi (uang pembangunan, red) sebesar Rp1 juta hingga Rp22,5 juta di luar uang SPP dan lain-lain. Jika dikalkulasikan uang masuk Unand antara Rp5 juta hingga 25 juta. Bahkan untuk jalur mandiri atau ekstensi mencapai Rp65 juta untuk fakultas kedokteran gigi. Suatu jumlah yang cukup besar. Padahal, berdasarkan pengamatan penulis uang tersebut tidak jelas penggunaannya.

Realita uang masuk kuliah Unand yang mahal menjadi sebuah bukti nyata bahwa pendidikan memang mahal dan sulit terjangkau. Setiap tahun biaya tersebut akan terus meningkat seiring kebutuhan atau peminat masyarakat terhadap pendidikan. Dalam perguruan tinggi pun berlaku  hukum jual beli. Di mana semakin banyak permintaan, maka semakin naik harga penawaran. Artinya, semakin banyak peminat perguruan tinggi maka semakin mahal uang masuknya. Sehingga mengakibatkan pendidikan hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang yang mapan secara ekonomi dan mampu bersaing untuk ”membeli harga” pendidikan. Apakah  anak petani, buruh maupun kalangan bawah lainnya dapat ikut bersaing? Walaupun secara ilmu mereka lebih cerdas. 

Ketika pendidikan hanya dapat dirasakan segelintir orang, maka lahirlah yang dinamakan diskriminasi pendidikan. Diskriminasi merupakan pelanggaran HAM. Hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskirminasi adalah hak setiap warga negara. Tidak ada pembedaan antara si miskin dan si kaya.
(padangekspres.co.id)

Siswa di Bengkulu Kebingungan, Harus Bayar Rp 3 Juta Untuk Masuk Sekolah

Zikaputra (20) salah seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kota Bengkulu, kesal luar biasa. Bagaimana tidak, hanya karena Kartu Keluarga (KK) sang adik bukan dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu, ia terpaksa harus membayar biaya masuk siswa luar kota sebesar Rp3 juta bagi siswa SMU.

Merasa jengkel dengan peraturan walikota (Perwal) yang mengamanatkan siswa luar kota harus membayar, dan tidak memiliki uang sebesar itu, maka sang adik batal sekolah di salah satu SMU negeri di Kota Bengkulu.

Hingga saat ini Zikputra tidak tahu akan menyekolahkan adiknya kemana karena penerimaan siswa baru (PSB) untuk sekolah negeri di Kota Bengkul telah ditutup. Ia kecewa dengan Perwal yang dia anggap telah menipu masyarakat, pada judul Perwal menyatakan pendidikan gratis tapi pelaksanaannya dipungut bayaran bagi siswa luar kota.

Menjelang ajaran tahun 2011 wali Kota Bengkulu, Ahmad Kanedi mengeluarkan peraturan wali kota, Perwal nomor 4 tahun 2011 yang berjudul pendidikan gratis. Ada dua hal yang menjadi sorotan publik terhadap perwal ini, pertama bagi siswa yang berdomisili di luar Kota Bengkulu dan tidak memiliki (KK) setempat, wajib membayar uang pindah dengan besaran untuk SD Rp1 juta, SMP Rp2 juta, dan SMU Rp3 juta.

Sorotan kedua, perwal mengamanatkan juga bagi siswa luar kota bila hendak bersekolah di Kota Bengkulu maka, nilainya harus dikurangi 2,5.

Guru Besar Universitas Bengkulu, bidang pendidikan, Prof. Sudarwan Danim, mengkritik sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB) Kota Bengkulu yang diskriminatif.  Ada dua hal yang menurut saya diskriminatif dalam PSB Kota Bengkulu, dan ini seharusnya tidak terjadi di tengah dunia pendidikan, yang fokus pembangunannya Bengkulu Kota Pelajar," ungkap Sudarwan Danim.

Kedua hal tersebut pertama, adanya pungutan bagi siswa baru SD sebesar Rp1 juta, SMP Rp2 juta, dan SMA Rp3 Juta. Sejumlah ketentuan yang mengatur bolehnya pungutan seperti terlihat pada Bab II Biaya Pendidikan di Sekolah pasal 2 bagian pertama biaya investasi.

Menurut Sudarwan di Indonesia tidak berlaku pajak pendidikan, berbeda dengan beberapa negara lain yang menentukan pajak pendidikan. "Perwal pendidikan gratis tetapi melegalkan pungutan, kan aneh," tambah pengajar Fakultas Keguruan di Universitas Bengkulu ini.

Hal kedua yang ia kritik mengenai adanya pemotongan nilai sebesar 2,5 bagi siswa luar Kota Bengkulu. "Pemotongan 2,5 nilai itu tidak jelas dasar hukumnya, dan tindakan itu tidak benar, pertimbangan akademiknya apa?" tambahnya.

Sementara itu pakar Hukum Universitas Bengkulu Prof. Juanda dengan tegas menyebutkan Perwal No 4 tahun 2011 tentang Pendidikan Gratis jelas telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesi (UU RI) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang tentang Pajak dan Retribusi.

Menurut Juanda, langkah yang dilakukan wali kota terkait pungutan itu, seharusnya berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) bukan dengan dasar Perwal.

"Dibenarkan menggunakan Perwal, jika Perwal itu merupakan perpanjangan dari Perda. Kalau tidak, jelas melanggar Undang-Undang," tegas Juanda.

Penolakan dari beragam pihak semakin banyak saja bermunculan Anggota Komisi III DPRD Kota Nuharman menuturkan, pendidikan gratis adalah pendidikan yang bebas pungutan.

"Kalau masih ada pungutan, bukan gratis namanya, konsep yang diusung Pemda Kota saat ini bukan lagi pendidikan gratis. Karena tidak ada sekolah yang benar-benar gratis. Kalau yang disubsidi hanya siswa miskin, itu namanya pendidikan bersubsidi," ungkapnya.

Sementara untuk pendidikan dasar, lanjutnya, merupakan program nasional, wajib belajar 9 tahun. Anggarannya sudah dialokasikan oleh pemerintah pusat melalui APBN dalam bentuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Artinya selama ini tidak ada yang digratiskan oleh Pemda Kota, kecuali subsidi pendidikan bagi siswa tidak mampu di jenjang pendidikan menengah. Itu pun hingga saat ini belum kunjung dicairkan dananya.

Sekretaris PGRI Kota Bengkulu, Yunan Danim menilai, kebijakan walikota dalam Perwal No 04 Tahun 2011 banyak yang tak berpihak pada guru."Di Perwal baru juga isinya sangat tidak berpihak pada guru. Insentif mengajar dan transport, honor guru piket, wali kelas, pembina OSIS dan lain-lain dilarang. Walaupun itu dari dana komite," bebernya.

Selain itu beberapa pasal juga dinilai rancu. Seperti pada pasal 13 ayat 1, disebutkan LKS (Lembar Kegiatan Siswa) wajib dibuat guru.

Menurut Yunan, hal ini bertentangan dengan ayat 2 yang menyebutkan pendidik dan tenaga kependidikan dilarang menjual LKS. "Tidak mungkin guru membuat LKS untuk diberikan secara gratis. Dari mana uangnya," katanya.
(republika.co.id)

"Anak-anak Bodoh" Haruskah Tersingkir?

Sengaja judul tulisan saya buat tanda petik ("anak-anak bodoh") karena sesungguhnya tiap anak (siswa) memiliki potensi atau kelebihan masing-masing, kecuali anak-anak idiot, tentu saja.

Tulisan ini terinspirasi dari seleksi penerimaan siswa baru, jenjang SMP dan SMA negeri sederajat yang sangat tidak berpihak kepada "anak-anak bodoh" ini.

Pada penerimaan siswa baru (PSB) yang lalu, terkesan "anak-anak bodoh" tersingkir atau sengaja disingkirkan dari sekolah-sekolah negeri terutama di jenjang SMP dan SMA sederajat. Mengapa tidak, seleksi yang dilakukan menutup kemungkinan "anak-anak bodoh" tersebut untuk bersekolah di sekolah negeri.

Memang untuk jenjang pendidikan dasar (SD) relatif tidak ada masalah sebab ada keseimbangan antara jumlah bangku dan jumlah pendaftar. Bahkan di beberapa daerah sudah terjadi kekurangan murid sehingga beberapa sekolah harus bergabung dengan SD sekitarnya.

Tak demikian halnya dengan memasuki jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan SMA negeri. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mendapatkan bangku SMP dan SMA. Di sini ada sejumlah soal.

Tidak Sebanding
Pertama, untuk tingkat SMP, sekolah negeri yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah berjumlah sangat sedikit. Sulitnya masuk sekolah negeri terutama disebabkan tidak sebandingnya jumlah sekolah di semua jenjang pendidikan. Untuk sekolah dasar, misalnya ada sekira 144.000 SD di seluruh Indonesia, dan 91 persen berstatus negeri. SMP hanya 26.000 sekolah, 57 persen negeri, dan SMA sekira 16.000 sekolah sekira 37 persennya berstatus negeri (Kompas, 6 Juli 2011).

Kedua, sistem seleksi penerimaan siswa baru di SMP negeri terdiri dari dua jalur, yakni jalur prestasi dan jalur akademik. Jalur akademik didasarkan pada angka hasil ujian nasional untuk tiga mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Siswa dengan angka hasil ujian nasional tinggi berpeluang besar mendapatkan bangku di SMP negeri.

Di sini terjadi ketidakadilan. Siswa yang berhasil mendapatkan bangku SMP negeri adalah mereka yang hasil ujian nasionalnya tinggi dan pada umumnya berasal dari orangtua yang secara ekonomi masuk golongan menengah atas. Mereka sanggup menambah waktu belajar melalui berbagai bimbingan belajar yang tersebar di seluruh kota besar.

Sementara itu, siswa dengan hasil nilai ujian pas-pasan atau "anak-anak bodoh" – sengaja saya buat tanda kutip karena pada dasarnya tiap siswa memiliki potensi atau kelebihan masing-masing – berasal dari keluarga yang secara ekonomi masuk kategori tidak mampu. Mereka tidak mampu berkompetisi secara adil mendapatkan bangku di SMP negeri, sementara untuk dapat mengakses SMP swasta, mereka terkendala biaya.

Pertanyaan berikutnya, benarkah "anak-anak bodoh" ini sebenar bodoh atau cara penilaiannya yang menyebabkan anak-anak tersebut jadi "bodoh"?

Pernahkah pembaca mengenal Bill Gates? Ia telah bisa membuat program komputer dalam usia tiga belas tahun. Padahal prestasi akademiknya di sekolah biasa saja bahkan dapat dikatakan "bodoh". Program komputer telah membuatnya terobsesi, sehingga ia merelakan kuliahnya di universitas bergengsi di Amerika. Kini sekitar 70-80 persen program komputer dunia berasal dari kantornya Bill Gates.

Stave Jobs


Stave Jobs, anak yang nakal pada waktu muda dan gemar elektronika. Ia meninggalkan kuliahnya dan berhasil dalam tiga industri yang berbeda yaitu musik, komputer dan film animasi.

Sergey Brin dan Larry Page juga merelakan program doktornya karena obsesinya untuk mengkomersialkan hasil riset mesin pencarinya.

Di Indonesia juga tak sedikit orang-orang hebat yang punya prestasi akademik biasa-biasa saja atau "bodoh", bahkan ada yang tak tamat SD. Pernahkah pembaca tahu bahwa Andre Wongso sang motivator papan atas Indonesia bahkan beberapa negara Asia, ternyata putus sekolah hanya sampai kelas 5 SD saja? Ebit G Ade pun ternyata di sekolah bukan sosok yang memiliki prestasi akademik. Ini hanya sekadar contoh.

Kisah Stave Jobs lebih seru lagi. Andai Stave ketika itu menjalani pendidikan dengan sistem pendidikan seperti kita sekarang ini, saya yakin, dia tidak akan jadi apa-apa. Bahkan tidak mustahil, Stave akan hidup di jalanan.

Mengapa tidak, lingkungan sekolah yang kurang menerima, membuat Jobs jadi bengal. Beruntung, Jobs bertemu dengan Mrs Hill saat di kelas empat dan dapat menerima keberadaan Jobs apa adanya.

Hill adalah guru yang sekaligus jadi teladan bagi Jobs. "Pada waktu singkat saya menjadi sangat hormat padanya dan timbul kembali keinginan saya untuk belajar," cerita Jobs.

Jika guru mengancam, memerintah, berkhotbah dan menguliahi, anak akan menganggap dirinya bukan apa-apa dan buruk. Maka dalam dirinya tertanam: guru tidak suka saya karenanya saya tidak dapat mengerjakan sesuatu dengan benar. Hal seperti itulah yang dialami Jobs dengan guru-gurunya yang lain. Beda dengan Mrs Hill yang membuat Jobs relaks dan terhindar dari suasana penuh tekanan, menjadi lebih bersahabat dan menyenangkan.

Tanpa Tekanan


Seperti Mrs Hil, guru sebaiknya mengatakan pada anak yang seharusnya dilakukan bukan apa yang tidak boleh dilakukan. Guru memang terbiasa dengan perkataan "jangan", namun perlu diubah sehingga kondisi sekolah menjadi akrab dan menyenangkan tanpa tekanan sehingga kita tidak kehilangan calon-calon Stave Jobs.

Dengan seleksi masuk SMP dan SMA negeri seperti yang sekarang, tidakkah hal ini akan menutup pintu akan lahirnya Stave-stave Jobs Indonesia? Padahal konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga negera wajib mengikuti pendidikan dasar. Untuk itu pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 Hasil Amandemen). Lebih lanjut dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah pendidikan bagi usia tujuh tahun sampai dengan 15 tahun (SD dan SMP).

Dengan demikian, yang harus dilakukan pemerintah adalah menjamin setiap anak usia sekolah (7-15 tahun) mendapat akses pendidikan dasar, khususnya SMP. Harus dihindari adanya siswa yang tidak dapat mengakses SMP karena terkendala biaya.

Untuk itu, keadaan harus dibalik, SMP negeri seharusnya diprioritaskan bagi siswa yang orangtuanya secara ekonomi tidak mampu dan tidak didasarkan pada angka hasil ujian nasional. Siswa dari latar belakang orangtua yang secara ekonomi mampu diberi kebebasan untuk memilih SMP swasta.

Terhadap kondisi masih terbatasnya SMP negeri dan masih besarnya jumlah SMP swasta, pemerintah seharusnya berterimakasih dan, jika perlu memberi subsidi kepada SMP swasta karena telah menyediakan akses pendidikan dasar tingkat SMP, yang seharusnya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah.

Urusan Swasta


Pemerintah seharusnya lebih berkonsentrasi memperbanyak pendirian SMP negeri daripada mengembangkan sejumlah SMP negeri menjadi sekolah rintisan berstandar internasional (RSBI). Kalaupun RSBI sudah dianggap sebagai kebutuhan, biarlah sekolah swasta yang mengadakan dan menyelenggarakannya. Di Malaysia pun, sekolah berstandar internasional milik pemerintah sudah dihapuskan

Karena setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Oleh : Hidayat Banjar
(analisadaily.com)
Friday 15 July 2011

PENDIDIKAN MAHAL PTN Jangan Peras Mahasiswa

Pemerintah harus segera mengambil tindakan nyata untuk menekan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN) agar lebih terjangkau oleh semua kalangan mahasiswa. Jika tidak, pemerintah bisa dituding telah bersikap diskriminasi karena hanya memberikan kesempatan pendidikan kepada mahasiswa dari keluarga kaya.

"Pemerintah sudah abai dalam memberi pendidikan yang bermutu dan murah kepada anak bangsa," kata Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri di Jakarta, Senin (11/7).

Mahalnya biaya pendidikan di PTN, menurut Febri, karena pemerintah membiarkan PTN menentukan sendiri pembiayaan atau unit cost per mahasiswa. Padahal, pungutan itu tak dihitung berdasarkan kebutuhan biaya operasional, melainkan target dana yang harus dicapai PTN yang kemudian dibebankan kepada mahasiwa.

"Jadi, sudah tidak jelas lagi berapa sebenarnya biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi. Karena itu, jangan heran jika biaya kuliah di PTN sama mahalnya dengan PTS," ujarnya.

Febri menambahkan, PTN sebaiknya menentukan pembiayaan secara lebih terbuka dan transparan dengan melibatkan pihak universitas dan perwakilan dari mahasiswa. Dengan demikian, semua sivitas akademika mengetahui secara jelas aliran dana yang diperoleh dan yang dikembalikan kepada mahasiswa dalam bentuk pendidikan bermutu.

"Terhadap perguruan tinggi milik negara, seharusnya pemerintah bisa mengendalikan pungutan agar bisa terjangkau oleh rakyat miskin. Jika PTN sudah seperti swasta, lalu di mana peran pemerintah?" ujarnya.

Febri mengatakan, ICW telah mengajukan permintaan laporan keuangan enam PTN yakni Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas (Unand), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Hassanudin (Unhas).

"Dari enam PTN itu hanya Unhas yang memberikan laporan keuangan secara detail. Padahal, semua harus transparan dan detail, berapa biaya untuk membayar listrik, berapa biaya menambah peralatan kampus, berapa untuk gaji dosen, berapa yang harus ditanggung negara, dan berapa yang harus ditanggung mahasiswa," kata Febri. Karena itu, menurut Febri, di masa depan perlu ada perbaikan dalam penetapan unit cost di PTN dengan cara pembahasan anggaran secara bersama dan terbuka. Jika transparan, masyarakat akan tahu berapa besar dana PTN yang ditanggung APBN dan yang dibutuhkan dari masyarakat.

Hal senada dikemukakan pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas. Ia menilai, mahalnya biaya pendidikan, terutama di PTN, karena urusan pendidikan diserahkan kepada pasar. Jika hal tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada masa depan banyak anak bangsa dari kalangan tidak mampu.

"Sekarang banyak anak dari keluarga miskin yang sudah keder atau takut duluan saat mendengar bahwa belajar di PTN itu butuh biaya hingga puluhan juta rupiah. Jangankan mendaftar, bermimpi untuk mendaftar ke PTN pun mereka tidak berani," kata Darmaningtyas, yang dihubungi Suara Karya lewat telepon, Senin (11/7).

Disinggung soal program beasiswa yang disediakan pemerintah hingga 20 persen, Darmaningtyas mengatakan, hal tersebut tidak sama dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Karena biasanya penerima beasiswa itu harus melewati seleksi dengan kriteria tertentu. Jumlahnya pun sangat terbatas.

"Beda dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Masyarakat lebih berani bersaing ke PTN karena ia tahu biayanya sejak awal murah. Jadi, tak ada orang miskin yang hanya bermimpi kuliah karena peluang itu sangat terbuka. Ia tinggal belajar keras agar bisa lolos seleksi," ujarnya.

Darmaningtyas tak setuju dengan model beasiswa, karena selain metodologi yang tidak jelas, sifatnya juga charity. Padahal, urusan pendidikan bukan persoalan belas kasihan, melainkan hak bagi setiap warga negara. Dan, hal tersebut harus dipenuhi pemerintah.

Sementara itu, kalangan PTN berkilah, mahalnya biaya pendidikan di PTN karena pemerintah mengurangi subsidinya hingga menjadi 15 hingga 60 persen dari kebutuhan, sehingga biaya operasional sebagian besar ditanggung mahasiswa.

Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmaloka menjelaskan, biaya operasional kampusnya membutuhkan dana Rp 700 miliar pada tahun ini. Dari jumlah itu, subsidi yang diperoleh pemerintah sebesar Rp 185 miliar.

"Dana dari pemerintah biasanya habis untuk membiayai urusan teknis, seperti gaji pegawai negeri sipil, membayar listrik, dan operasional lainnya," ujarnya.

Sedangkan dana dari mahasiswa dan alumni, tambah Ahmaloka, hanya diperoleh sekitar Rp 200 miliar. Sisanya, sebesar Rp 315 miliar, justru didapat dari usaha kerja sama penelitian dan proyek ilmiah. Meskipun harus berusaha keras mencari dana sendiri, namun ITB menolak apabila dikatakan menetapkan biaya pendidikan yang tinggi.

Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar Rusliwa Somantri mengemukakan, kebutuhan UI sekitar Rp 1,4 triliun per tahun, sedangkan kucuran dana dari pemerintah sekitar Rp 300 miliar per tahun. Kekurangannya diperoleh dengan berbagai cara, seperti menjalin kerja sama dengan industri serta sumbangan dari alumni.
 
Dengan cara itu, UI dapat mengalokasikan dana Rp 36 miliar per tahun untuk beasiswa. Menurut dia, keliru jika menganggap kuliah di UI mahal. "UI itu justru sekolah termurah. Bayangkan saja, masih ada uang kuliah Rp 100.000 hingga Rp 7,5 juta yang diberikan sesuai kemampuan orangtua atau yang kita sebut BOP berkeadilan," kata Gumilar.
(suarakarya-online.com)

Biaya Pendidikan Mahal

Hampir setiap tahun, biaya Penerimaan Siswa Baru (PSB) yang ditetapkan sekolah selalu naik. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) hendaknya mengambil sikap untuk mengatasi masalah yang secara rutinitas terjadi setiap tahunnya ini. “Mahalnya biaya pendidikan setiap tahunnya sudah menjadi kasus nasional. Disinilah perlu peran penting dinas untuk melakukan kontrol dan pengawasan. Jangan sampai pihak sekolah seenaknya dan sewenang-wenang menentukan besaran biaya PSB tanpa memikirkan kemampuan orang tua siswa,” tegas Jailani, pemuda Mempawah.
 
Menurut dia, mahalnya biaya cenderung ulah sekolah itu sendiri. Dengan dalih untuk berbagai keperluan pendidikan, pihak sekolah membebankan siswa baru membayar sejumlah uang.
“Bukan rahasia umum kalau PSB itu jadi  proyek tahunan sekolah. Hal seperti ini harus disikapi dan ditindaklanjuti. Kalau dibiarkan berlarut, anak-anak dari keluarga kurang mampu, bisa tidak dapat lanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi,” ujarnya.
 
Modus yang digunakan sekolah dalam menetapkan besaran biaya PSB beragam. Mulai dari iuran sekolah, membuat seragam sekolah, perawatan fasilitas sekolah hingga biaya pembangunan gedung baru. Padahal, pemerintah sudah mengucurkan biaya yang tidak sedikit setiap tahunnya untuk dunia pendidikan.“Jika sekolah dalam menentukan sudah bermusyawarah dengan komite bersama perwakilan  orangtua siswa tentang besaran biaya, tentunya sebelum diutuskan sudah dipertimbangkan. Sementara dalam hal ini orang tua siswa tidak ada pilihan lain. Kalau tidak mengikuti aturan, khawatir anaknya tidak bisa diterima,” tukasnya.
 
Sejauh ini, belum ada tindakan tegas dari Pemnda maupun Disdikpora  kepada pihak sekolah. Masih bersifat teguran, warning dan wacana untuk diberikan sanksi tegas. Nyatanya, hingga kini belum ada yang diberikan sanksi tegas hingga membuat mereka kapok atau jera. Kondisi itulah yang diberlakukan sekolah.
 
“Itu sudah menjadi tradisi, terutama sejak DAK masuk sekolah hingga Kepseknya berlomba-lomba mendapatkan bahkan ikut langsung mengerjakan sekolahnya," sebut Jailani. Lain halnya jika dinas tegas dan  memberikan sangsi sekolah yang nakal, mungkin tidak seperti ini kejadiannya. Dimana biaya pendidikan selalu naik setiap tahunnya.

Disdikpora harus berani ambil tindakan dan sangsi tegas kepada sekolah ‘’nakal’’ itu. Agar menjadi pembelajaran dan peringatan kepada sekolah lain agar tidak sewenang-wenang dalam menetapkan biaya PSB kepada siswanya.“Kalau hanya imbauan dan peringatan, mungkin hanya dianggap angina lalu. Dinas hendaknya dapat memberikan tindakan tegas. Misalnya mencopot jabatan kepala sekolah (Kepsek) dan lainnya. Bila perlu dinas dapat menentukan besaran standar PSB setiap tahunnya,” sarannya.

Terpisah Suherman Khouw Sekretaris Komisi D DPRD Mempawah berjanji pihaknya akan menindaklanjuti mahalnya biaya pendidikan itu. Dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar rapat kerja dengan Disdikpora untuk mencarikan solusi dan jalan keluar atas masalah dunia pendidikan itu.
(pontianakpost.com)
Wednesday 13 July 2011

Dugaan Korupsi dan Suap di RSBI Kita

Penyakit korupsi maupun gratifikasi alias suap tampak semakin merajalela. Tidak hanya di institusi kenegaraan dan penegak hukum, korupsi dan suap menyerang dunia pendidikan.

Koalisi Anti-Korupsi Pendidikan (KAKP) menemukan indikasi korupsi dan suap di beberapa sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di DKI dan sekitarnya.

Berdasarkan penelusuran KAKP yang dinyatakan oleh Aliansi Orang Tua Murid Peduli Pendidikan (APPI), ditemukan adanya dugaan praktik gratifikasi di SMAN 1 RSBI Tambun Selatan, Bekasi. Penelusurannya menunjukkan adanya kejanggalan dalam keuangan SMAN 1 RSBI.

"Berdasarkan dokumen yang berhasil diperoleh ditemukan adanya bukti pengeluaran sekolah sebesar Rp15 juta untuk mendapatkan alokasi anggaran pemerintah provinsi atau daerah," ujar Ketua Aliansi Orang Tua Murid Peduli Pendidikan Handaru, dalam keterangan pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Selasa (12/7).

Bukti lain yang memperkuat dugaan itu adalah sekolah telah mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan bantuan APBD sebesar Rp3 miliar.

Handaru menduga uang sebesar itu mengalir pada berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pengesahan APBD.

"Sekolah sudah mengeluarkan uang paling sedikit Rp260 juta untuk menggolkan mata anggaran itu," katanya.

Bahkan, dalam penelusurannya, ditemukan pula ada pengeluaran sekolah yang ditujukan bukan untuk siswa maupun pengajar dan pegawai sekolah.

Beberapa pengeluaran yang janggal itu seperti pengeluaran perjalanan atau biaya tambahan wisata budaya dharma wanita para pejabat pemerintah daerah di bidang pendidikan.

KAKP dan APPI menyayangkan semua pengeluaran tersebut ternyata tidak memiliki alokasi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS) tahun anggaran 2010/2011 SMAN 1 Tambun Selatan.

Selain itu, mantan Ketua Komite SMAN 70 RSBI Jakarta Musni Umar menyatakan telah terjadi indikasi korupsi di sekolah itu.

Dikatakan Musni, selama menjabat sebagai ketua komite sekolah, ia tidak pernah mendapat tranparansi dan akuntabilitas keuangan sekolah.

Karena itu, ia pun meminta bantuan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta, untuk melakukan audit investigasi secara menyeluruh.

Hasil audit sementara, kata Musni, ditemukan adanya uang sebesar Rp1,2 miliar di rekening liar.

Namun, pihak BPKP menyatakan bukan indikasi korupsi, hanya terjadi salah manajemen.

"Komite tetap menganggap ini indikasi korupsi," tegasnya.

Belum sukses mengawal adanya indikasi korupsi di sekolahnya, Musni keburu dilengserkan. Tepatnya pada Desember 2010. Indikasi adanya korupsi itu masih diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Komite sekarang orang yang prosekolah, orang yang dekat dengan sekolah," sebutnya. 
(mediaindonesia.com)

Pungutan Perguruan Tinggi Capai Rp25 Miliar

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan bahwa pungutan yang dilakukan oleh perguruan tinggi mencapai lebih dari Rp25 miliar. Pungutan tersebut merupakan pungutan dari kementerian dan lembaga (K/L) yang tidak disetorkan ke negara.

"PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) atau pungutan K/L yang tidak disetorkan ke kas negara, tidak dilaporkan dan digunakan langsung tanpa melalui mekanisme APBN sebesar Rp25.833.675.795,00," kata
Anggota BPK Rizal Djalil di Kantor BPK, Jakarta, Rabu (13/7).

Rizal menguraikan, pungutan tersebut terdiri dari PNBP pada rekening bendahara penerimaan/rektor yang digunakan langsung sebesar Rp12.004.383.678,00 pada Politeknik Negeri Jakarta, Politeknik Negeri Lampung, dan Universitas Negeri Makassar.

Kemudian, rekening lainnya yang tidak masuk ke rekening bendahara penerimaan/rektor yang digunakan tidak langsung dengan tidak melalui rekening bendahara penerima sebesar Rp2.413.714.238,00 pada Politeknik Negeri Ujung Pandang, Politeknik Negeri Lampung, dan Politeknik Negeri Semarang.

"Selain itu, penggunaan langsung PNBP pada PTN badan layanan umum (BLU) yang dikelola di luar mekanisme APBN sebesar Rp11.415.577.879,00 di Universitas Negeri Lampung, Dan Universitas Negeri Semarang," kata Rizal.

Rizal mengakui, Kemendiknas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 Pasal 14 sampai dengan 15, BLU diperbolehkan memperoleh pendapatan dari jasa layanan kepada masyarakat. Sekitar Rp7,9 triliun atau maksimal 30% dari biaya operasional perguruan tinggi ditangung masyarakat.

"Berdasarkan pasal tersebut (Pasal 14 hingga Pasal 15 UU No 23 tahun 2005) pendapatan harus dilaporkan sebagai PNBP," lanjutnya.
(mediaindonesia.com)

Bubarkan Sekolah RSBI

Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP) mendesak agar program Rintisan Sekolah Bertaraf internasional (RSBI) dibubarkan menyusul adanya penyelewengan dana sekolah.

"Masyarakat yang peduli pendidikan dan mencintai negeri ini harus segera mengajukan Judisial Review ke MK untuk memohon pasal RSBI dalam UU No. 20/2003 dibatalkan," terang Febri Hendri dalam jumpa pers di kantor ICW, Selasa (12/7/2011).

Hal senada juga dikatakan oleh Mantan ketua Komite SMA 70 Jakarta, Musni Umar. Pengalamannya sebagai Ketua Komite disekolah itu, ia sama sekali tidak diberi akses untuk mengetahui dan mendapatkan informasi tentang pengelolaan kelas internasional dan Kelas CIB (intensif). Padahal menurut UU Sistem Pendidikan Nasional, Komite berfungsi antara lain sebagai pengontrol.

Karena selalu kritis, pada bulan Desember 2010, ia dilengserkan dari komite dan pihak SMA 70 membuat komite baru yang pro sekolah.

"Tidak ada transparansi dan akuntabilitas, maka kami sebagai komite SMA 70 menduga keras telah terjadi tindak pidana korupsi. Akhirnya kami minta bantuan BPKP DKI Jakarta untuk melakukan audit investigasi secara menyeluruh," ujarnya.

Namun sangat disayangkan, Musni mengungkap, audit yang dilakukan sangat terbatas dan tidak menyentuh Kelas Internasional dan Kelas CIB."Audit sementara ditemukan Rp 1,2 miliar di rekening liar, tapi pihak BPKP mengatakan bukan korupsi, hanya salah admonistrasi. Sementara Komite menganggap hal itu indikasi korupsi," paparnya.
(tribunnews.com)

Pendidikan Cekik Rakyat Kalbar

Dunia pendidikan nasional tetap bermuram durja. Betapa gelisah dan susahnya para orangtua saat ini untuk mendapatkan sekolah bermutu yang berbiaya murah.

Kendati UU Sisdiknas mengamanatkan pendidikan gratis sampai SMP, praktik pengumpulan dana walimurid saat penerimaan peserta didik baru (PPDB) Tahun Ajaran 2011-2012, tak terhindarkan.

Di Sanggau, kaum orangtua siswa SMPN pusing tujuh keliling terhadap tingginya biaya daftar ulang siswa baru yang mencapai Rp 1,17 juta-Rp Rp 1,5 juta per siswa. Orangtua Singkawang pun tak luput kegelisahan, ketika SDN Singkawang Barat menetapkan uang pagar Rp 500 ribu.

Apa arti Permendiknas yang diterbitkan untuk menangkal pungutan sekolah dan masa orientasi sekolah Juni lalu? Anjing menggonggong kafilah berlalu. Permendiknas yang disertai surat edaran Disdik ke sekolah, tak ubahnya macan ompong.

Telinga menjadi tuli, hati nurani seolah tersisa lagi. Klaim sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), bukanlah dalih pembenar untuk mengkhianati UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Jelas disebutkan, tiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

Pasal 34 Ayat (2) menetapkan pemerintah dan Pemda menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ayat (3) disebutkan, wajib belajar itu tanggungjawab negara yang diselenggarakan lembaga pemerintah, Pemda dan masyarakat.

Slogan pendidikan gratis, terbukti isapan jempol. Umumnya penyelenggara pendidikan masih bermazhab Orde Baru, bukan reformis. Momentum PPDB pun dijadikan ajang mengumpulkan dana sebesar-besarnya dari kantung kusut para orangtua.

Ragam alasan pungutan pun "diadakan," termasuk penetapan pengambilan formulir menjadi ladang pengumpulan dana. Tak hanya saat masuk, mengambil ijazah siswa yang telah lulus pun tak luput dari biaya puluhan ribu rupiah.

                                                                                                                         Kebodohan Bangsa
Aneka pungutan terjadi secara terbuka maupun tertutup, dikamuflasekan dengan dalih iuran sukarela. Komite sekolah yang hingga kini belum berpihak pada walimurid pun acapkali dijadikan "tameng" menangkal protes dan keluhan orangtua.

Umumnya, lembaga pendidikan berkilah, semua biaya yang ditetapkan merupakan keputusan bersama komite sekolah. Beranikah uji transparansi musyawarah komite ini? Saatnya masyarakat menagih janji Mendiknas.

Tak terhitung aduan melalui telepon maupun SMS khusus, 177 atau email: www.kemendiknas.go.id. Namun, hingga kini belum ada sekolah yang diberikan shock therapy. Mendiknas wajib tegas menjatuhkan sanksi bagi sekolah pelanggar UU.

Semoga Mendiknas tak bisu nurani saat Badan Pemeriksa Keuangan menyibak misteri 43 rekening liar Kemendiknas senilai Rp 26,4 miliar dalam laporan keuangan 2010. Demikian pula, temuan pungutan pada Badan Layanan Umum (BLU).

Momentum tepat bagi BPK dan KPK menelusuri rekening misterius ini, termasuk aneka pungutan Kemendiknas hingga Disdik di daerah. Temuan BPK ini bak jawaban atas kebisuan Kemendiknas hingga Disdik, atas liarnya penarikan dana sekolah dari walimurid saat ini.

Sekolah kategori RSBI pun tak lolos. Anggota BPK Rizal Djalil yang prihatin terhadap aneka pungutan mencekik rakyat, memastikan menelusurinya. Meminjam istilah Budayawan Sujiwo Tedjo, pendidikan telah menjadi kebutuhan primer alias pokok.

Jika rakyat tak terpenuhi kebutuhan pokoknya, apakah pemerintah menantikan bencana kebodohan bangsa? Dunia pendidikan telah kehilangan marwah kemanusiaan dan kebangsaan. Mengalami dekadensi dari pendidikan gratis era pemerintahan Bung Karno.
(tribunnews.com)
Tuesday 12 July 2011

Pendidikan dan Kemiskinan

Setiap tahun ajaran baru kita selalu punya masalah yang sama untuk dikeluhkan. Mahalnya biaya pendidikan, terutama masuk perguruan tinggi, membuat para orangtua sesak napas. Bagi yang miskin, punya anak yang cemerlang secara akademis, terpaksa berharap uluran tangan para dermawan, atau membujuk anaknya untuk tidak kuliah.

Ketika banyak dari mereka yang berasal dari kalangan tidak mampu ingin sekolah atau kuliah tapi tak punya biaya, bangsa yang mulia tentu akan merasakan, negara sedang kehilangan makna idealnya. Orang miskin, dalam hal ini, seakan tidak perlu dipikirkan negara soal pendidikannya. Pemerintah, menanggapi komentar miring itu, jelas, punya seabrek jawaban apologia, yang intinya, mereka ingin dianggap sudah bekerja dan berbuat maksimal.

Saat ini, pendidikan murah, apalagi gratis, tidak lebih impian muluk yang sulit direalisasikan. Makanya, ketika kita ingin mencari di mana pendidikan gratis atau berbiaya murah itu bisa diperoleh, tidak bisa dibuktikan sungguh-sungguh. Ujung-ujungnya, kekecewaan terlampiaskan dengan cara mengatakan pemerintah tidak berpihak pada rakyat.

Banyak fakta riil kita temukan. Mereka yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, banyak juga yang punya kemampuan akademik bagus. Tidak terbayangkan, ketika sebagai orangtua menyadari bahwa pendidikanlah salah satu yang membuat seseorang bisa terbebas dari kemiskinan dan kebodohan, tahu-tahu anak-anak mereka karena keterbatasan finansial, mesti tidak masuk sekolah atau tidak kuliah.

Bangsa ini, negeri yang kita cintai ini, mestinya menjadi ruang yang oleh pemimpinnya dijelmakan sebagai tanah harapan, yang siapa pun orangnya, asal untuk mencerdaskan bangsa, demi pendidikan generasi penerusnya, selalu punya kemudahan dan dijauhkan biaya mahal pendidikan. Karena pendidikan yang diberikan, investasi berharga.

Namun, impian dan harapan kebanyakan rakyat Indonesia, bagai lepas hampa di awang-awang. Akhirnya seakan kehilangan empati, lembaga pendidikan, baik yang negeri maupun swasta, hanya bisa dimasuki jika kita punya uang. Biaya mahal.

Dalam hal ini, jangan ditanya soal mutu. Karena mutu, cenderung terabaikan lantaran pengelola lembaga pendidikan kini menilai sesuatu dengan uang. Dalam hal ini, tidak disadari negara, kalau pendidikan, atau orang yang dapat mengecap pendidikan yang baik dengan murah adalah investasi yang akan membuat masa depan bangsa ini makin baik.

Kini, banyak orangtua yang stres dan bersedih ketika ingin menyekolahkan anak, untuk membayar masuk kuliah putra-putri mereka, uang tidak ada. Sebagaimana diberitakan media kemarin, di Malang misalnya, seorang ayah terpaksa mencopet untuk membayar uang pendaftaran sekolah anaknya. Mirisnya, anak batal sekolah ayah masuk penjara.

Pada saat yang bersamaan, koruptor di negeri ini mendapat banyak kemudahan dan keleluasaan, bahkan tidak jarang secara hukum ditoleransi. Sementara seorang anak dicoret karena telat mendaftar ulang di salah satu SMK Negeri di Kota Padang, lantaran ibunya baru menerima zakat sehari setelah jadwal pendaftaran ditutup. Seakan tidak ada toleransi, ibu ini bersedih dan masih mengupayakan agar anaknya tetap sekolah.

Bangsa ini, adalah bangsa yang seakan kehilangan hidayah lantaran korupsi yang mencengkeram dan rasa empatinya yang berkurang dari waktu ke waktu. Sehingga, setiap tahun, kita hanya mendengar banyak anak miskin kesulitan biaya dan meratap ingin sekolah atau kuliah. Mirisnya lagi, tiap tahun kita selalu mendengar imbauan-imbauan yang mestinya tidak adalagi, yakni pemerintah mengimbau agar tidak ada sekolah yang melakukan pungutan. Tetapi, ketika ada sekolah yang mengambil pungutan dari siswa, sanksi pun tidak diberikan.

Begitu tiap tahun imbauannya berulang, sebagaimana juga tiap tahun pemerintah, politisi atau pihak terkait pendidikan, berkata untuk ke depannya, akan mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan serta memikirkan bagaimana supaya anak miskin bisa mengenyam pendidikan dengan tuntas.

Tapi, ketika tahun berganti, tahun ajaran baru masuk, kita makin menyadari, belum banyak terperbaiki karena belum sungguh-sungguh ingin mengubah menjadi bangsa yang kebijakannya berpihak pada perbaikan dan nasib bangsanya untuk lebih baik dan milik semua.
(padangekspres.co.id)
Saturday 2 July 2011

Perguruan Tinggi asing boleh masuk ke Indonesia

Perguruan Tinggi Swasta (PTS) boleh jadi akan mendapatkan pesaing berat. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Tinggi membolehkan perguruan tinggi asing (PTA) membuka program studi di Indonesia. Tentu saja kehadiran PTA membuat PTS makin sengit memperebutkan mahasiswa.

Cuma memang ada beberapa syarat bagi PTA yang membuka program studi di Indonesia. Salah satunya, PTA harus mau bekerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia.

Anggota Senat Universitas Trisakti, Advendi Simangunsong, menilai, PTS akan sangat terpukul bila PTA memang boleh beroperasi di Indonesia. "Seharusnya pemerintah melarang PTA sampai PTS siap bersaing," katanya, Kamis (30/6).

Ia menjelaskan, kondisi saat ini saja PTS sulit bertahan setelah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diharuskan otonom. Akibatnya beberapa PTN membuka program studi yang selama ini menjadi lahan PTS. "Ujungnya, PTS pun sulit menjaring mahasiswa baru sampai-sampai ada yang membuka pendaftaran setiap hari," kata Advendi.

Ketua Komisi X DPR, Rully Chairul Azwar mengatakan, draf RUU Pendidikan Tinggi masih belum final. Pemerintah dan DPR masih mengkaji dan memprediksi dampaknya. "Tentu kami tak mau PTS sampai mati bila PTA ini masuk," ujarnya.

Menurutnya, tujuan membolehkan PTA masuk ke Indonesia adalah untuk melecut mutu perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu juga demi menjaring orang kaya yang ingin belajar ke luar negeri. Sehingga mereka tak perlu membuang devisa karena cukup bersekolah di sini.

Selain mengatur soal PTA, kata Rully, RUU ini juga mengatur kuota pendidikan tinggi untuk kalangan tak mampu.

Output RSBI Dipertanyakan

Rintisan sekolah  berstandar internasional (RSBI), salah satu sekolah yang diminati banyak orang di Bukittinggi. Namun keinginan jadi yang terbaik tersebut, orangtua siswa harus bersedia membayar sedikit lebih mahal dari sekolah biasa. Seperti apakah hasil yang bisa dicapai dengan sistem pendidikan RSBI tersebut?

Masyarakat kini mulai bertanya-tanya apakah memang benar sistem pendidikan yang mengacu pada standar mutu internasional tersebut bisa diwujudkan. Pertanyaan dari masyarakat seberapa banyak siswa RSBI bisa diterima di perguruan tinggi favorit di Indonesia dan internasional?

Mampukah RSBI dengan biaya sekolah yang tinggi itu menjamin mutu pendidikan yang benar-benar baik ataukah hal ini hanya bentuk dari komersialisasi pendidikan semata dengan memanfaatkan keinginan masyarakat yang tinggi?

Alasan persetujuan dari komite untuk melaksnakan praktik pungutan jadi tameng bagi sekolah tersebut. “Apa barometer yang mampu menjadi alat ukur kesuksesan sekolah rintisan berstandar internasional tersebut,” ungkap salah seorang orangtua siswa, Zul, kepada Padang Ekspres, kemarin.

Satu lagi kata Zul, keberhasilan meluluskan siswa bagi RSBI sama sekali tidak bisa dijadikan alat ukur. Karena siswa yang masuk ke sekolah tersebut, siswa-siswa unggulan di sekolah mereka masing-masing. “Jadi tidak bisa hal itu dijadikan patokan utama kesuksesan RSBI,” katanya.

Coba bandingkan dengan sekolah-sekolah di daerah lain, siswa RSBI juga harus bersaing dengan sekolah lainnya memasuki perguruan tinggi negeri. Seharusnya dengan sekolah rintisan berstandar internasional siswanya sudah harus mampu bersaing dengan perguruan tinggi di luar negeri.

“Jika masih bersaing di dalam negeri tentunya banyak siswa-siswa dari sekolah yang bukan RSBI juga melakukan hal yang sama dengan target perguruan tinggi yang ada di pulau Jawa,” ungkapnya.
 Ketika dikonfirmasikan ke Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Ellia Makmur, membenarkan ada sejumlah biaya tambahan bagi sekolah rintisan berstandar internasional.

Tentunya, hasil yang ingin dicapai dengan sekolah RSBI tentunya hasil lebih baik. “Biaya tambahan tersebut berdasar kesepakatan komite sekolah dan orangtua siswa,” ungkap Ellia Makmur.
Untuk capaian, kata Ellia, sudah lebih baik. Artinya sudah banyak siswanya yang mampu mendapatkan perguruan tinggi favorit di dalam dan luar negeri.

“Mungkin data-data itu ada pada masing-masing sekolah,” ungkap Sekretaris Disdikpora Bukittinggi Iskandar.
(padangekspres.co.id)
Friday 1 July 2011

Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Kita

Tak bisa dibantah bahwa pendidikan merupakan kunci peradaban bangsa. Sebab kemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari kualitas pendidikannya. Jepang bisa menjadi "macan" Asia adalah karena negara Sakura ini serius membangun pendidikannya. Mereka bisa melihat peluang dalam tantangan dan melihat kesempatan dalam hambatan. Bagaimana dengan Indonesia?

Bercermin dari sejarah, pendidikan modern di Indonesia diperkenalkan oleh bangsa asing, khususnya Belanda. Awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis yang salah satunya adalah edukasi. Mereka memberikan kesempatan kepada penduduk pribumi untuk mengecap pendidikan.

Hanya saja, yang bisa menikmati pendidikan pada masa ini adalah golongan menengah ke atas (priyayi dan bangsawan). Juga tujuannya adalah untuk menghasilkan kaum terdidik yang nantinya bisa bekerja di birokrasi pemerintahan dan perkebunan dengan upah murah. Tapi, ternyata kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi Belanda.

Bagaimana tidak. Pendidikan tersebut telah membentuk kesadaran kritis beberapa pemuda melihat penjajahan dan kemiskinan rakyat pribumi. Salah satu pemuda tersebut adalah Ki Hajar Dewantara, yang menginginkan Indonesia merdeka dari penjajahan. Pendiri Taman Siswa ini berupaya menjadikan pendidikan sebagai senjata perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan. Sehingga wajar, hari kelahiran beliau, 20 Mei, diperingati sebagai hari pendidikan nasional.

Pasca Indonesia merdeka, konstitusi mengatur bahwa kemerdekaan harus diisi dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa demi terciptanya masyarakat adil dan makmur. Kehidupan bangsa yang cerdas dapat terwujud apabila semua warga negara mengecap pendidikan. Hal ini diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Dan sebagai turunannya, lahirlah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.

Namun dengan melihat praktik penyelenggaraan pendidikan, apakah telah mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah telah memanusiakan manusia (humanisasi) dan membebaskan? Pertanyaan mendasar ini sering dipertanyakan di tengah-tengah ketidakpastian arah pendidikan kita. Tampaknya pendidikan kita berada di persimpangan jalan.

Permasalahan Pendidikan
Setidaknya, ada tujuh permasalahan pendidikan kita, yakni; kebijakan pendidikan, pembiayaan pendidikan, fasilitas pendidikan, pemerataan pendidikan, kualitas guru dan dosen, perkembangan peserta didik, dan mutu pendidikan. Ketujuh permasalahan tersebut saling berhubungan.

Pertama, kebijakan pendidikan. Permasalahan mendasar kebijakan pendidikan nasional adalah upaya pelepasan tanggungjawab pemerintah terhadap dunia pendidikan. Pendidikan diserahkan kepada pasar. Misalnya dengan otonomi pendidikan bagi kampus yang berstatus Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Sehingga kampus tersebut berupaya menggalang dana dengan menaikkan uang kuliah. Otomatis, golongan menengah ke bawah semakin sulit mengecap pendidikan tinggi.

Kemunculan sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), juga menjadi mimpi buruk bagi orang miskin. Karena sekolah-sekolah ini memungut biaya yang bertarif internasional dari orang tua siswa. Lagi-lagi orang miskin tak bisa mengecap pendidikan di situ. Sebagai catatan, hingga 2010, terdapat 1.329 RSBI di Indonesia. Padahal, kualitas sekolah tersebut masih sangat diragukan.

Selain itu, kebijakan Ujian Nasional (UN) yang dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa, penuh dengan sandiwara. UN yang diadakan sejak 2003 ini justru mengkerdilkan visi pendidikan. Bagaimana tidak, dengan adanya UN sebagai penentu kelulusan, siswa hanya fokus berlatih menjawab soal-soal, bukan mengatasi persoalan. Dalam pelaksanaannya juga, praktik-praktik kecurangan (terpaksa) dilakukan secara terbuka sehingga siswa telah diajari melakukan kebohongan. Ini bertolak belakang dengan pendidikan karakter yang selalu didengung-dengungkan pemerintah.

Kedua, pembiayaan pendidikan. Biaya pendidikan yang semakin mahal membuat masyarakat kewalahan menyekolahkan anak-anaknya. Sehingga banyak anak putus sekolah karena keterbatasan dana. Lihatlah, sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31, 05 anak SD putus sekolah setiap tahunnya (Kompas, 4/3/2011). Padahal sudah ada anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD. Namun persoalannya, anggaran ini dikorupsikan dan penggunaannya tidak tepat sasaran.

Ketiga, fasilitas pendidikan. Bagaimana pun juga, fasilitas sangat menentukan kualitas pendidikan. Bagi sekolah-sekolah/kampus elite di perkotaan, barangkali fasilitasnya sudah memadai. Tapi, tidak bisa dimungkiri masih banyak sekolah-sekolah/kampus yang tidak memiliki fasilitas yang memadai. Sebagai contoh, sebanyak 70 persen dari 12.000 SD swasta dan negeri di wilayah Sumatera Utara belum memiliki perpustakaan. Sangat memprihatinkan.

Keempat, pemerataan pendidikan. Pemerataan pembangunan tampaknya belum optimal. Pendidikan di wilayah Indonesia bagian Timur masih jauh ketinggalan dengan bagian Barat. Juga, kesenjangan pendidikan antara desa (pinggiran) dengan perkotaan terlihat jelas. Di daerah tertentu, masih ada kecamatan yang tidak memiliki SMA. Jangankan antara desa dengan kota, di perkotaan saja sangat jelas terlihat kesenjangan pendidikan.

Kelima, kualitas guru dan dosen. Satu langkah baik ketika pemerintah berupaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik. Dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen merupakan langkah maju. Hanya saja, ini bukan jaminan melahirkan guru dan dosen yang profesional. Buktinya, masih banyak keluhan dari berbagai pihak, soalnya guru dan dosen yang telah menerima sertifikat pendidik ternyata tidak memiliki kemampuan mengajar yang baik.

Keenam, perkembangan peserta didik. Banyak peserta didik yang menganggap sekolah adalah penjara. Bukan tidak punya alasan, kebanyakan siswa tersebut merasa tidak bebas di dalam sekolah karena mereka mendapatkan tekanan psikologis dan fisik. Ruang berkreatifitas tertutupi dengan adanya kebijakan-kebijakan yang menekan. Dalam pengajaran juga, komunikasi satu arah (monologis) membuat siswa bosan karena suasana belajar tidak menggairahkan. Keadaan yang seperti ini sudah pasti memengaruhi perkembangan peserta didik.

Ketujuh, mutu pendidikan. Tidak sedikit siswa dan mahasiswa Indonesia yang memenangi olimpiade internasional. Selain itu, dalam pelaksanaan UN, semakin tinggi angka kelulusan siswa. Mungkin pemerintah bisa saja mengklaim bahwa itu prestasi yang membanggakan. Tapi itu tidak bisa dijadikan parameter mengukur mutu pendidikan kita.

Bila dibandingkan dengan Malaysia, pendidikan kita sudah jauh ketinggalan. Negara yang pernah berguru dengan Indonesia tahun 1970-an ini, kini menjadi guru. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia pun belajar ke sana. 

Kemajuan pendidikan di Malaysia tidak terlepas dari tujuan pendidikannya yang jelas dan terarah, dikenal dengan rumusan Malaysia Vision 2020 yang dirumuskan sejak tahun 1980-an. Lantas, bagaimana dengan tujuan pendidikan kita? Sepertinya kabur dan tak terarah.

Quo Vadis
Dengan melihat permasalahan tersebut, mau di bawa ke mana pendidikan kita? Mungkinkah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud jika persoalan tersebut dibiarkan? Tanpa ada reformasi pendidikan, maka persoalan bangsa juga semakin berlarut-larut.

Oleh:  Jhon Rivel Purba
(analisadaily.com)

SNMPTN Jalur Mandiri, Komersialisasi Bungkus Baru

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur mandiri dinilai sebagai bentuk komersialisasi pendidikan bentuk baru. PTN sengaja melakukannya untuk menyiasati kekurangan anggaran pendidikan untuk membangun berbagai fasilitas sebagai center of excellence.

"Kasarnya komersialisasi. Ini ajang cari duit saja, dengan memakai baju baru: jalur mandiri," cetus Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) HAR Tilaar menilai, saat dihubingi, Kamis (30/6).

Menurut pengamat pendidikan jebolan Amerika ini, ajang komersialisasi pendidikan tinggi itu telah coba dipangkas Mahkamah Konstitusi (MK) dengan pembatalan UU BHP. Namun, siasat tetap dilancarkan untuk mencari sumber pandanaan baru. Jalur mandiri atau sering disebut Seleksi Masuk (Simak) adalah salah satunya.

Seperti diketahui, MK mengabulkan judicial review atas Undang-undang No 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap membatasi akses setiap warga negara bagi pendidikan tinggi.

Tilaar pun menandaskan argumen yang menyatakan fungsi jalur mandiri hanya untuk menampung siswa tak lulus SNMPTN jalur ujian tulis adalah akal-akalan belaka.

"Bohong (bukan komersialisasi)! Mereka (PTN) tidak terus terang. Konsep (Simak) ini sebenarnya enggak jelas juga," tegasnya.

Namun, ia pun memaklumi upaya pencarian dana oleh PTN itu. Bahwa memang 20% APBN untuk anggaran pendidikan lebih banyak dihabiskan untuk gaji pegawai. Baginya, langkah rasional yang masih memungkinkan adalah pengembalian SNMPTN ke jalur tulis dan undangan saja.

"Kalau terbatas kapasitas (kursi PTN)-nya, ya sudah aja (yang diterimanya) segitu. Kenapa harus ditambah-tambah lewat jalur mandiri?" cetusnya.
(mediaindonesia.com)

Warga Miskin Sulit Masuk Sekolah Favorit

Orang tua murid yang mendaftarkan anaknya ke jalur penerimaan peserta didik baru (PPDB), khusus warga miskin di Kediri, kesulitan memenuhi persyaratan yang dibuat Dinas Pendidikan Kota Kediri.

Kalangan tidak mampu ini mengeluhkan penolakan panitia pendaftaran hanya gara-gara tidak bisa menunjukkan kartu jaminan kesejahteraan masyarakat (jamkesmas) yang masih berlaku.

Win, 38, warga miskin asal Kelurahan Mojoroto, Kecamatan Mojoroto, mengatakan dirinya terpaksa batal mendapatkan jatah kuota warga miskin di sebuah SMPN favorit karena terbentur persyaratan administrasi.

"Anak saya ditolak karena kartu jamkesmas kami mati, mau ngurus butuh waktu lama, sedangkan pendaftaran cuma tiga hari. Padahal, nilai anak saya mencukupi untuk masuk ke sana (sekolah favorit)," ujar Win.

Menurut Win, sosialisasi persyaratan tersebut sangat kurang dilakukan pihak sekolah. Idealnya satu bulan sebelum penerimaan siswa baru sudah diumumkan sehingga warga miskin, seperti dirinya, banyak yang gagal menyekolahkan anaknya di sekolah favorit.

"Prosedur ketat itu seharusnya tidak ada, toh di kartu sudah jelas kita orang miskin. Kalaupun dijadikan sebagai syarat, satu bulan sebelumnya diumumkan sehingga kita persiapkan jauh-jauh hari," ujar dia.

Terkait masalah ini, menurut Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Kediri Syamsul Umam, Pemerintah Kota Kediri gagal menjalan perannya membantu orang miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Ini terbukti dari 10% jatah untuk warga miskin tidak ada satu pun sekolah favorit yang memenuhinya. Penyebabnya ialah kurangnya sosialisasi ke sekolah. Syamsul juga mengkritik persyaratan lampiran kartu jamkesmas yang masih berlaku sebagai tindakan yang salah kaprah. Sebab, kartu jamkesmas dibuat untuk berobat gratis.

Seharusnya kata dia Dinas Pendidikan sudah mengantongi nama anak-anak yang digolongkan menjadi warga miskin.

"Jangan malah dipersulit, apalagi waktu pendaftaran hanya tiga hari, dua hari di antaranya bukan hari efektif, yakni Jumat dan Sabtu," sesalnya.

Di sisi lain, Gubernur Bali Made Mangku Pastika meminta para guru, khususnya di Bali, agar dalam mengajar dan mendidik anak-anak, tidak boleh pamrih, hitung-hitungan. "Itu karena mengajar dan mendidik anak itu ialah Yadnya, panggilan hidup," katanya saat menyerahkan bantuan di SD 4 Suana, Nusa Penida.
(mediaindonesia.com)
Thursday 30 June 2011

Paksa orang tua siswa menyumbang, langgar konstitusi

Peneliti senior bidang pendidikan ICW, Febri Hendri, mengatakan berdasarkan UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan dasar dan menengah wajib diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia dan wajib dibiayai oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui APBN dan APBD, tanpa dipungut biaya apapun.

"Jadi sekolah dasar dan SMP negeri yang berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) maupun berstandar nasional, sudah dibiaya penuh oleh APBN dan APBD, jadi tidak perlu lagi memungut biaya apapun dari wali murid," tandas Febri saat dihubungi primaironline.com, Sabtu (25/6). Hal ini terkait kabar adanya kasus penahanan buku raport di SMP Negeri I Cikini, Jakarta Pusat, hanya karena sejumlah orang tua murid belum melunasi sumbangan pendidikan sebesar Rp7 juta.

Namun, hal itu dibantah pihak sekolah, termasuk besaran sumbangan yang dikatakan tidak sebesar itu dan tanpa paksaan.

Menurut Febri, kasus penolakan wali murid SMP Negeri 1 Cikini Jakarta Pusat atas sumbangan sebesar Rp7 juta terhadap pihak sekolah dinilai tepat. Karena sumbangan tersebut bersifat tidak wajib. "Karena yang berstatus standar internasional maupun nasional sudah dibiayai oleh pemerintah," ujar dia

Dia mengatakan, jika pihak sekolah masih menetapkan sumbangan jelas sudah bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional. Kecuali untuk tingkat SMA memang ada aturan dipungut biaya.

Kalaupun dipungut biaya, lanjut Febri, harus transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, selama sekolah-sekolah khusus SD dan SMP yang bertaraf internasional dan nasional tidak terbuka, orang tua wajib menolak membayar. Apalagi kalau sampai mematok target dan mewajibkan tanpa melihat kemampuan orang tua siswa.
(primaironline.com)

70 Persen dari Rp 86 Miliar DAK SD/SMP Bandung Terancam Hangus

Pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan tingkat SD/SMP tahun 2011 senilai 70 persen dari Rp 86 miliar terancam hangus. Apabila DAK 2010 senilai Rp 66 miliar dari Rp 77 miliar tidak terserap di tahun 2011 ini.

Demikian yang dikemukakan Ketua Komisi D Arifin Sobari saat meminta klarifikasi kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kab. Bandung tentang DAK Pendidikan, di Ruang Banmus DPRD Kab. Bandung, Kamis (30/6). Menurut Arifin, permasalahan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) 

Kabupaten Bandung bagaikan fenomena gunung es yang disaat permukaannya mencair, berbagai masalah timbul ke permukaan.
“Seperti halnya DAK 2010 yang belum terserap dengan baik. Sehingga sangat mengancam DAK pendidikan 2011 senilai 70 persen dari Rp 86 miliar,''ujar Arifin.

Arifin menilai Disdikbud tidak serius mengupayakan semua tupoksinya secara cepat. “Masa hingga kini, DAK 2010 hanya terserap Rp 11 miliar dari Rp 77 miliar,” ucapnya kesal.

Arifin menjelaskan, Padahal DAK itu sangat dibutuhkan sekolah untuk menunjang Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). “Tenggang waktu penyerapan DAK Pendidikan 2010 yakni sebelum dilakukan perubahan anggaran 2011, kalau tidak tidak terserap akan mengancam hangusnya DAK 2011,” tegasnya.

Apabila sisa DAK 2011 tidak dapat dicairkan, kata Arifin, akan sangat merugikan dunia penddikan serta akan menjadi bahan pertanyaan oleh masyarakat tentang kinerja Disdikbud Kab. Bandung.

Ia menyesalkan, hingga satu semester ini Disdikbud Kab. bandung tak kunjung menyelesaikan DAK 2010. “Sebenarnya jika ada kendala, seharusnya dewan diberitahukan,” katanya.

Selain itu, Arifin juga mengeluhkan, tidak diberikannya draft Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) 2011 Disdikbud kepada pihaknya sehingga ia dan anggota dewan lainnya sama sekali belum memiliki RKA itu. ''Kami butuh kepastian program Disdikbud soal dana perencanaan kegiatan. Bahkan, juga jumlah kerusakan sekolah tidak pernah ada hitam diatas putih ke komisi,”ujar Arifin.

Di tempat yang sama, Plt Sementara Kepala Disdikbud Kabupaten Bandung, Agus Firman tidak menampik persoalan yang diungkapkan Ketua Komisi D itu. Menurut Agus, permasalahan yang mengakibatkan DAK belum terserap karena Juklak dan Juknis baru diterimanya Desember 2010 sehingga baru akan dilakukan tahun ini. “Apalagi, perubahan Permendiknas nomor 5 menjadi nomor 18 untuk SD dan nomor 19 untuk SMP tahun 2010 tentang swakelola menjadi sistem lelang sehingga kita tidak bisa menyimpang dari Permendiknas itu,” kata Agus.
 
Firman menolak juga jika pihak Disdikbud dianggap tidak serius menangani kerusakan sekolah, sebab DAK 2010 untuk rehab SD sudah dalam tahap ajuan lelang senilai Rp 41 miliar, dan untuk SMP pada permohonan lelang senilai Rp 23 miliar yang semuanya harus menggunakan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). “Kita harus antre sehingga tidak bisa sekaligus melakukan LPSE sebab banyak daerah lain juga yang ikut LPSE,” katanya sambil berharap sebelum perubahan anggaran tahun ini DAK 2010 bisa terserap
(pikiran-rakyat.com)
 
© Copyright 2010-2011 Pendidikan All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.