Empat siswi pintar dari SMAN 2 Kota Payakumbuh, SMAN 1 Harau, dan SMAN 1 Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota, terancam tidak bisa mendaftar kuliah di Universitas Andalas dan Universitas Riau, gara-gara keterbatasan ekonomi. Siapa mau peduli? (Padang Ekspres, 5 Juli 2011).
Pendidikan Indonesia kini memasuki fase baru. Suatu fase yang dinamakan komersialisasi pendidikan. Dalam tahap tersebut pendidikan menjadi komoditi mahal yang tak terjangkau. Khususnya perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Setelah 65 tahun merdeka, pendidikan tidak hanya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Melainkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi pihak-pihak tertentu melalui uang masuk kuliah.
Bila diamati uang masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata tak kalah mahalnya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta yang ada. Pada saat swasta menetapkan uang masuk kuliah yang mahal, kita masih dapat memahaminya karena swasta tidak dibantu oleh negara dalam masalah pendanaan. Namun sungguh ironis jika PTN juga menetapkan hal uang masuk yang mahal. PTN dalam menyelenggarakan pendidikan, pendanaannya dibantu oleh negara. Lalu siapakah yang dapat disalahkan? Pihak kampus sebagai pembuat kebijakan uang masuk kuliah atau negara yang tak mampu membiayai PTN sepenuhnya?
Diskriminasi PendidikanUang masuk kuliah saat ini mencapai puluhan juta rupiah. Misalnya di Unand (tempat penulis berkuliah). Sejak tahun 2009, Unand telah menetapkan suatu kebijakan yang mengharuskan mahasiswa baru membayar dana pengembangan institusi (uang pembangunan, red) sebesar Rp1 juta hingga Rp22,5 juta di luar uang SPP dan lain-lain. Jika dikalkulasikan uang masuk Unand antara Rp5 juta hingga 25 juta. Bahkan untuk jalur mandiri atau ekstensi mencapai Rp65 juta untuk fakultas kedokteran gigi. Suatu jumlah yang cukup besar. Padahal, berdasarkan pengamatan penulis uang tersebut tidak jelas penggunaannya.
Realita uang masuk kuliah Unand yang mahal menjadi sebuah bukti nyata bahwa pendidikan memang mahal dan sulit terjangkau. Setiap tahun biaya tersebut akan terus meningkat seiring kebutuhan atau peminat masyarakat terhadap pendidikan. Dalam perguruan tinggi pun berlaku hukum jual beli. Di mana semakin banyak permintaan, maka semakin naik harga penawaran. Artinya, semakin banyak peminat perguruan tinggi maka semakin mahal uang masuknya. Sehingga mengakibatkan pendidikan hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang yang mapan secara ekonomi dan mampu bersaing untuk ”membeli harga” pendidikan. Apakah anak petani, buruh maupun kalangan bawah lainnya dapat ikut bersaing? Walaupun secara ilmu mereka lebih cerdas.
Ketika pendidikan hanya dapat dirasakan segelintir orang, maka lahirlah yang dinamakan diskriminasi pendidikan. Diskriminasi merupakan pelanggaran HAM. Hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskirminasi adalah hak setiap warga negara. Tidak ada pembedaan antara si miskin dan si kaya.
(padangekspres.co.id)
Bila diamati uang masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata tak kalah mahalnya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta yang ada. Pada saat swasta menetapkan uang masuk kuliah yang mahal, kita masih dapat memahaminya karena swasta tidak dibantu oleh negara dalam masalah pendanaan. Namun sungguh ironis jika PTN juga menetapkan hal uang masuk yang mahal. PTN dalam menyelenggarakan pendidikan, pendanaannya dibantu oleh negara. Lalu siapakah yang dapat disalahkan? Pihak kampus sebagai pembuat kebijakan uang masuk kuliah atau negara yang tak mampu membiayai PTN sepenuhnya?
Diskriminasi PendidikanUang masuk kuliah saat ini mencapai puluhan juta rupiah. Misalnya di Unand (tempat penulis berkuliah). Sejak tahun 2009, Unand telah menetapkan suatu kebijakan yang mengharuskan mahasiswa baru membayar dana pengembangan institusi (uang pembangunan, red) sebesar Rp1 juta hingga Rp22,5 juta di luar uang SPP dan lain-lain. Jika dikalkulasikan uang masuk Unand antara Rp5 juta hingga 25 juta. Bahkan untuk jalur mandiri atau ekstensi mencapai Rp65 juta untuk fakultas kedokteran gigi. Suatu jumlah yang cukup besar. Padahal, berdasarkan pengamatan penulis uang tersebut tidak jelas penggunaannya.
Realita uang masuk kuliah Unand yang mahal menjadi sebuah bukti nyata bahwa pendidikan memang mahal dan sulit terjangkau. Setiap tahun biaya tersebut akan terus meningkat seiring kebutuhan atau peminat masyarakat terhadap pendidikan. Dalam perguruan tinggi pun berlaku hukum jual beli. Di mana semakin banyak permintaan, maka semakin naik harga penawaran. Artinya, semakin banyak peminat perguruan tinggi maka semakin mahal uang masuknya. Sehingga mengakibatkan pendidikan hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang yang mapan secara ekonomi dan mampu bersaing untuk ”membeli harga” pendidikan. Apakah anak petani, buruh maupun kalangan bawah lainnya dapat ikut bersaing? Walaupun secara ilmu mereka lebih cerdas.
Ketika pendidikan hanya dapat dirasakan segelintir orang, maka lahirlah yang dinamakan diskriminasi pendidikan. Diskriminasi merupakan pelanggaran HAM. Hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskirminasi adalah hak setiap warga negara. Tidak ada pembedaan antara si miskin dan si kaya.
(padangekspres.co.id)
No comments:
Post a Comment