Bangsa yang maju adalah bangsa yang terdidik, tentunya melalui sekolah, dengan sekolah seseorang bisa terdidik. Setiap orangtua pasti berkeinginan menyekolahkan anaknya.
Namun, kesempatan bersekolah tidak semua dimiliki anak-anak bangsa ini, alasannya biaya sekolah mahal, sebuah alasan klasik yang itu-itu saja dari tahun ke tahun. Keadaan demikian, memang sebuah elegi sekaligus menjadi ironi yang memprihatinkan, sebab bagaimana bangsa ini bisa maju tanpa pendidikan. Alhasil, kesempatan menikmati pendidikan formal hanya untuk orang-orang berduit, kesempatan yang sama bagi setiap warga negara jelas menjadi fakta sebuah ketidakadilan. Biaya sekolah yang mahal menjadi berita yang traumatik bagi warga yang tidak mampu, walaupun mereka sadar bahwa mengikuti pendidikan menjadi bagian hak setiap warga negara. Tapi ketidakberdayaan rakyat karena masih bergelut dengan kemiskinan, menjadi sebuah fakta anak-anak bangsa yang tidak atau putus sekolah.
Biaya sekolah, kok mahal…! Bukankah sekolah gratis? Tetapi kenapa dibilang mahal? Benar, sekolah SD dan SMP gratis, sebab masuk wajib belajar 9 (sembilan) tahun yang merupakan program pemerintah. Tapi bagaimana biaya sekolah SMA dan perguruan tinggi, semisal masih ada SMA negeri di kota Medan dalam penerimaan mahasiswa baru tahun ini memberlakukan uang pendaftaran dengan biaya tinggi, dengan dalih biaya seragam dan paket buku, kemudian uang komite per bulan. Dapat dibayangkan untuk orang miskin tak mungkin lagi masuk dalam sekolah tersebut. Akhirnya biarpun nilai bagus, tapi kemudian harus gigit jari.
Demikian halnya sekolah dengan perguruan tinggi tak kalah mahalnya. Khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah berubah status menjadi BHMN, perubahan status PTN dimaksud bahwa perguruan tinggi tersebut tidak lagi menerima subsidi operasional dari pemerintah, sehingga PTN berstatus BHMN mencari sendiri pendanaan operasionalnya dari mahasiswa. Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ditambah lagi uang sumbangan ini dan itu padahal sudah lulus melalui jalur undangan.
Mahal
Bila pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Di negara-negara maju, bahkan di Malaysia, menurut putra-putri Indonesia yang bersekolah di sana masih relatif terjangkau, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.
Gambaran demikian, seolah menerjemahkan kepada publik bahwa anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka hanya berhak sekolah sampai setingkat SMP saja. Akhirnya yang miskin tak beranjak dari kemiskinannya, yang bodoh tak keluar dari lingkaran kebodohan yang mengungkungnya. Calon mahasiswa yang akan masuk perguruan tinggi negeri membuat traumatis bagi mereka yang kurang mampu. Mereka tak mungkin siap menanggung beban biaya pendidikan yang harganya mahal. Sewajarnya memang komersialisasi pendidikan yang selalu diributkan oleh mahasiswa. Pendidikan saat ini udah jadi barang mewah. Boleh dibilang pendidikan harganya seperti barang kebutuhan tersier aja, mahal sungguh mahal. Tentunya cuma mereka yang berkantong tebal yang bisa nangkring di PTN. Sementara buat kebanyakan rakyat negeri ini yang memiliki penghasilan rata-rata yang masuk kategori kelas menengah ke bawah, bagai pungguk naik ke bulan alias hanya merajut mimpi saja.
Biaya pendidikan yang mahal, sebuah anomali dari tujuan bangsa yang termaktub dalam konstitusi negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang.
Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.
Persoalan biaya pendidikan yang mahal kiranya menjadi perhatian dan pemikiran bagi pemerintah pusat dan daerah. Marilah kita memikirkan lagi kebijakan pendidikan mahal ini apakah masih perlu kita lanjutkan atau dilakukan perubahan. Dengan kebijakan mahal ini jangan harap akan ada transformasi dari kalangan bawah menuju kondisi yang lebih baik.
Oleh: Abi Jumroh Harahap
Namun, kesempatan bersekolah tidak semua dimiliki anak-anak bangsa ini, alasannya biaya sekolah mahal, sebuah alasan klasik yang itu-itu saja dari tahun ke tahun. Keadaan demikian, memang sebuah elegi sekaligus menjadi ironi yang memprihatinkan, sebab bagaimana bangsa ini bisa maju tanpa pendidikan. Alhasil, kesempatan menikmati pendidikan formal hanya untuk orang-orang berduit, kesempatan yang sama bagi setiap warga negara jelas menjadi fakta sebuah ketidakadilan. Biaya sekolah yang mahal menjadi berita yang traumatik bagi warga yang tidak mampu, walaupun mereka sadar bahwa mengikuti pendidikan menjadi bagian hak setiap warga negara. Tapi ketidakberdayaan rakyat karena masih bergelut dengan kemiskinan, menjadi sebuah fakta anak-anak bangsa yang tidak atau putus sekolah.
Biaya sekolah, kok mahal…! Bukankah sekolah gratis? Tetapi kenapa dibilang mahal? Benar, sekolah SD dan SMP gratis, sebab masuk wajib belajar 9 (sembilan) tahun yang merupakan program pemerintah. Tapi bagaimana biaya sekolah SMA dan perguruan tinggi, semisal masih ada SMA negeri di kota Medan dalam penerimaan mahasiswa baru tahun ini memberlakukan uang pendaftaran dengan biaya tinggi, dengan dalih biaya seragam dan paket buku, kemudian uang komite per bulan. Dapat dibayangkan untuk orang miskin tak mungkin lagi masuk dalam sekolah tersebut. Akhirnya biarpun nilai bagus, tapi kemudian harus gigit jari.
Demikian halnya sekolah dengan perguruan tinggi tak kalah mahalnya. Khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah berubah status menjadi BHMN, perubahan status PTN dimaksud bahwa perguruan tinggi tersebut tidak lagi menerima subsidi operasional dari pemerintah, sehingga PTN berstatus BHMN mencari sendiri pendanaan operasionalnya dari mahasiswa. Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ditambah lagi uang sumbangan ini dan itu padahal sudah lulus melalui jalur undangan.
Mahal
Bila pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Di negara-negara maju, bahkan di Malaysia, menurut putra-putri Indonesia yang bersekolah di sana masih relatif terjangkau, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.
Gambaran demikian, seolah menerjemahkan kepada publik bahwa anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka hanya berhak sekolah sampai setingkat SMP saja. Akhirnya yang miskin tak beranjak dari kemiskinannya, yang bodoh tak keluar dari lingkaran kebodohan yang mengungkungnya. Calon mahasiswa yang akan masuk perguruan tinggi negeri membuat traumatis bagi mereka yang kurang mampu. Mereka tak mungkin siap menanggung beban biaya pendidikan yang harganya mahal. Sewajarnya memang komersialisasi pendidikan yang selalu diributkan oleh mahasiswa. Pendidikan saat ini udah jadi barang mewah. Boleh dibilang pendidikan harganya seperti barang kebutuhan tersier aja, mahal sungguh mahal. Tentunya cuma mereka yang berkantong tebal yang bisa nangkring di PTN. Sementara buat kebanyakan rakyat negeri ini yang memiliki penghasilan rata-rata yang masuk kategori kelas menengah ke bawah, bagai pungguk naik ke bulan alias hanya merajut mimpi saja.
Biaya pendidikan yang mahal, sebuah anomali dari tujuan bangsa yang termaktub dalam konstitusi negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang.
Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.
Persoalan biaya pendidikan yang mahal kiranya menjadi perhatian dan pemikiran bagi pemerintah pusat dan daerah. Marilah kita memikirkan lagi kebijakan pendidikan mahal ini apakah masih perlu kita lanjutkan atau dilakukan perubahan. Dengan kebijakan mahal ini jangan harap akan ada transformasi dari kalangan bawah menuju kondisi yang lebih baik.
Oleh: Abi Jumroh Harahap
(analisadaily.com)
No comments:
Post a Comment