Pemerintah harus segera mengambil tindakan nyata untuk menekan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN) agar lebih terjangkau oleh semua kalangan mahasiswa. Jika tidak, pemerintah bisa dituding telah bersikap diskriminasi karena hanya memberikan kesempatan pendidikan kepada mahasiswa dari keluarga kaya.
"Pemerintah sudah abai dalam memberi pendidikan yang bermutu dan murah kepada anak bangsa," kata Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri di Jakarta, Senin (11/7).
Mahalnya biaya pendidikan di PTN, menurut Febri, karena pemerintah membiarkan PTN menentukan sendiri pembiayaan atau unit cost per mahasiswa. Padahal, pungutan itu tak dihitung berdasarkan kebutuhan biaya operasional, melainkan target dana yang harus dicapai PTN yang kemudian dibebankan kepada mahasiwa.
"Jadi, sudah tidak jelas lagi berapa sebenarnya biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi. Karena itu, jangan heran jika biaya kuliah di PTN sama mahalnya dengan PTS," ujarnya.
Febri menambahkan, PTN sebaiknya menentukan pembiayaan secara lebih terbuka dan transparan dengan melibatkan pihak universitas dan perwakilan dari mahasiswa. Dengan demikian, semua sivitas akademika mengetahui secara jelas aliran dana yang diperoleh dan yang dikembalikan kepada mahasiswa dalam bentuk pendidikan bermutu.
"Terhadap perguruan tinggi milik negara, seharusnya pemerintah bisa mengendalikan pungutan agar bisa terjangkau oleh rakyat miskin. Jika PTN sudah seperti swasta, lalu di mana peran pemerintah?" ujarnya.
Febri mengatakan, ICW telah mengajukan permintaan laporan keuangan enam PTN yakni Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas (Unand), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Hassanudin (Unhas).
"Dari enam PTN itu hanya Unhas yang memberikan laporan keuangan secara detail. Padahal, semua harus transparan dan detail, berapa biaya untuk membayar listrik, berapa biaya menambah peralatan kampus, berapa untuk gaji dosen, berapa yang harus ditanggung negara, dan berapa yang harus ditanggung mahasiswa," kata Febri. Karena itu, menurut Febri, di masa depan perlu ada perbaikan dalam penetapan unit cost di PTN dengan cara pembahasan anggaran secara bersama dan terbuka. Jika transparan, masyarakat akan tahu berapa besar dana PTN yang ditanggung APBN dan yang dibutuhkan dari masyarakat.
Hal senada dikemukakan pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas. Ia menilai, mahalnya biaya pendidikan, terutama di PTN, karena urusan pendidikan diserahkan kepada pasar. Jika hal tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada masa depan banyak anak bangsa dari kalangan tidak mampu.
"Sekarang banyak anak dari keluarga miskin yang sudah keder atau takut duluan saat mendengar bahwa belajar di PTN itu butuh biaya hingga puluhan juta rupiah. Jangankan mendaftar, bermimpi untuk mendaftar ke PTN pun mereka tidak berani," kata Darmaningtyas, yang dihubungi Suara Karya lewat telepon, Senin (11/7).
Disinggung soal program beasiswa yang disediakan pemerintah hingga 20 persen, Darmaningtyas mengatakan, hal tersebut tidak sama dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Karena biasanya penerima beasiswa itu harus melewati seleksi dengan kriteria tertentu. Jumlahnya pun sangat terbatas.
"Beda dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Masyarakat lebih berani bersaing ke PTN karena ia tahu biayanya sejak awal murah. Jadi, tak ada orang miskin yang hanya bermimpi kuliah karena peluang itu sangat terbuka. Ia tinggal belajar keras agar bisa lolos seleksi," ujarnya.
Darmaningtyas tak setuju dengan model beasiswa, karena selain metodologi yang tidak jelas, sifatnya juga charity. Padahal, urusan pendidikan bukan persoalan belas kasihan, melainkan hak bagi setiap warga negara. Dan, hal tersebut harus dipenuhi pemerintah.
Sementara itu, kalangan PTN berkilah, mahalnya biaya pendidikan di PTN karena pemerintah mengurangi subsidinya hingga menjadi 15 hingga 60 persen dari kebutuhan, sehingga biaya operasional sebagian besar ditanggung mahasiswa.
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmaloka menjelaskan, biaya operasional kampusnya membutuhkan dana Rp 700 miliar pada tahun ini. Dari jumlah itu, subsidi yang diperoleh pemerintah sebesar Rp 185 miliar.
"Dana dari pemerintah biasanya habis untuk membiayai urusan teknis, seperti gaji pegawai negeri sipil, membayar listrik, dan operasional lainnya," ujarnya.
Sedangkan dana dari mahasiswa dan alumni, tambah Ahmaloka, hanya diperoleh sekitar Rp 200 miliar. Sisanya, sebesar Rp 315 miliar, justru didapat dari usaha kerja sama penelitian dan proyek ilmiah. Meskipun harus berusaha keras mencari dana sendiri, namun ITB menolak apabila dikatakan menetapkan biaya pendidikan yang tinggi.
Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar Rusliwa Somantri mengemukakan, kebutuhan UI sekitar Rp 1,4 triliun per tahun, sedangkan kucuran dana dari pemerintah sekitar Rp 300 miliar per tahun. Kekurangannya diperoleh dengan berbagai cara, seperti menjalin kerja sama dengan industri serta sumbangan dari alumni.
"Pemerintah sudah abai dalam memberi pendidikan yang bermutu dan murah kepada anak bangsa," kata Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri di Jakarta, Senin (11/7).
Mahalnya biaya pendidikan di PTN, menurut Febri, karena pemerintah membiarkan PTN menentukan sendiri pembiayaan atau unit cost per mahasiswa. Padahal, pungutan itu tak dihitung berdasarkan kebutuhan biaya operasional, melainkan target dana yang harus dicapai PTN yang kemudian dibebankan kepada mahasiwa.
"Jadi, sudah tidak jelas lagi berapa sebenarnya biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi. Karena itu, jangan heran jika biaya kuliah di PTN sama mahalnya dengan PTS," ujarnya.
Febri menambahkan, PTN sebaiknya menentukan pembiayaan secara lebih terbuka dan transparan dengan melibatkan pihak universitas dan perwakilan dari mahasiswa. Dengan demikian, semua sivitas akademika mengetahui secara jelas aliran dana yang diperoleh dan yang dikembalikan kepada mahasiswa dalam bentuk pendidikan bermutu.
"Terhadap perguruan tinggi milik negara, seharusnya pemerintah bisa mengendalikan pungutan agar bisa terjangkau oleh rakyat miskin. Jika PTN sudah seperti swasta, lalu di mana peran pemerintah?" ujarnya.
Febri mengatakan, ICW telah mengajukan permintaan laporan keuangan enam PTN yakni Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas (Unand), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Hassanudin (Unhas).
"Dari enam PTN itu hanya Unhas yang memberikan laporan keuangan secara detail. Padahal, semua harus transparan dan detail, berapa biaya untuk membayar listrik, berapa biaya menambah peralatan kampus, berapa untuk gaji dosen, berapa yang harus ditanggung negara, dan berapa yang harus ditanggung mahasiswa," kata Febri. Karena itu, menurut Febri, di masa depan perlu ada perbaikan dalam penetapan unit cost di PTN dengan cara pembahasan anggaran secara bersama dan terbuka. Jika transparan, masyarakat akan tahu berapa besar dana PTN yang ditanggung APBN dan yang dibutuhkan dari masyarakat.
Hal senada dikemukakan pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas. Ia menilai, mahalnya biaya pendidikan, terutama di PTN, karena urusan pendidikan diserahkan kepada pasar. Jika hal tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada masa depan banyak anak bangsa dari kalangan tidak mampu.
"Sekarang banyak anak dari keluarga miskin yang sudah keder atau takut duluan saat mendengar bahwa belajar di PTN itu butuh biaya hingga puluhan juta rupiah. Jangankan mendaftar, bermimpi untuk mendaftar ke PTN pun mereka tidak berani," kata Darmaningtyas, yang dihubungi Suara Karya lewat telepon, Senin (11/7).
Disinggung soal program beasiswa yang disediakan pemerintah hingga 20 persen, Darmaningtyas mengatakan, hal tersebut tidak sama dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Karena biasanya penerima beasiswa itu harus melewati seleksi dengan kriteria tertentu. Jumlahnya pun sangat terbatas.
"Beda dengan konsep PTN yang berbiaya murah. Masyarakat lebih berani bersaing ke PTN karena ia tahu biayanya sejak awal murah. Jadi, tak ada orang miskin yang hanya bermimpi kuliah karena peluang itu sangat terbuka. Ia tinggal belajar keras agar bisa lolos seleksi," ujarnya.
Darmaningtyas tak setuju dengan model beasiswa, karena selain metodologi yang tidak jelas, sifatnya juga charity. Padahal, urusan pendidikan bukan persoalan belas kasihan, melainkan hak bagi setiap warga negara. Dan, hal tersebut harus dipenuhi pemerintah.
Sementara itu, kalangan PTN berkilah, mahalnya biaya pendidikan di PTN karena pemerintah mengurangi subsidinya hingga menjadi 15 hingga 60 persen dari kebutuhan, sehingga biaya operasional sebagian besar ditanggung mahasiswa.
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmaloka menjelaskan, biaya operasional kampusnya membutuhkan dana Rp 700 miliar pada tahun ini. Dari jumlah itu, subsidi yang diperoleh pemerintah sebesar Rp 185 miliar.
"Dana dari pemerintah biasanya habis untuk membiayai urusan teknis, seperti gaji pegawai negeri sipil, membayar listrik, dan operasional lainnya," ujarnya.
Sedangkan dana dari mahasiswa dan alumni, tambah Ahmaloka, hanya diperoleh sekitar Rp 200 miliar. Sisanya, sebesar Rp 315 miliar, justru didapat dari usaha kerja sama penelitian dan proyek ilmiah. Meskipun harus berusaha keras mencari dana sendiri, namun ITB menolak apabila dikatakan menetapkan biaya pendidikan yang tinggi.
Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar Rusliwa Somantri mengemukakan, kebutuhan UI sekitar Rp 1,4 triliun per tahun, sedangkan kucuran dana dari pemerintah sekitar Rp 300 miliar per tahun. Kekurangannya diperoleh dengan berbagai cara, seperti menjalin kerja sama dengan industri serta sumbangan dari alumni.
Dengan cara itu, UI dapat mengalokasikan dana Rp 36 miliar per tahun untuk beasiswa. Menurut dia, keliru jika menganggap kuliah di UI mahal. "UI itu justru sekolah termurah. Bayangkan saja, masih ada uang kuliah Rp 100.000 hingga Rp 7,5 juta yang diberikan sesuai kemampuan orangtua atau yang kita sebut BOP berkeadilan," kata Gumilar.
(suarakarya-online.com)
(suarakarya-online.com)
No comments:
Post a Comment