Dunia pendidikan nasional tetap bermuram durja. Betapa gelisah dan susahnya para orangtua saat ini untuk mendapatkan sekolah bermutu yang berbiaya murah.
Kendati UU Sisdiknas mengamanatkan pendidikan gratis sampai SMP, praktik pengumpulan dana walimurid saat penerimaan peserta didik baru (PPDB) Tahun Ajaran 2011-2012, tak terhindarkan.
Di Sanggau, kaum orangtua siswa SMPN pusing tujuh keliling terhadap tingginya biaya daftar ulang siswa baru yang mencapai Rp 1,17 juta-Rp Rp 1,5 juta per siswa. Orangtua Singkawang pun tak luput kegelisahan, ketika SDN Singkawang Barat menetapkan uang pagar Rp 500 ribu.
Apa arti Permendiknas yang diterbitkan untuk menangkal pungutan sekolah dan masa orientasi sekolah Juni lalu? Anjing menggonggong kafilah berlalu. Permendiknas yang disertai surat edaran Disdik ke sekolah, tak ubahnya macan ompong.
Telinga menjadi tuli, hati nurani seolah tersisa lagi. Klaim sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), bukanlah dalih pembenar untuk mengkhianati UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Jelas disebutkan, tiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pasal 34 Ayat (2) menetapkan pemerintah dan Pemda menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ayat (3) disebutkan, wajib belajar itu tanggungjawab negara yang diselenggarakan lembaga pemerintah, Pemda dan masyarakat.
Slogan pendidikan gratis, terbukti isapan jempol. Umumnya penyelenggara pendidikan masih bermazhab Orde Baru, bukan reformis. Momentum PPDB pun dijadikan ajang mengumpulkan dana sebesar-besarnya dari kantung kusut para orangtua.
Ragam alasan pungutan pun "diadakan," termasuk penetapan pengambilan formulir menjadi ladang pengumpulan dana. Tak hanya saat masuk, mengambil ijazah siswa yang telah lulus pun tak luput dari biaya puluhan ribu rupiah.
Kebodohan Bangsa
Aneka pungutan terjadi secara terbuka maupun tertutup, dikamuflasekan dengan dalih iuran sukarela. Komite sekolah yang hingga kini belum berpihak pada walimurid pun acapkali dijadikan "tameng" menangkal protes dan keluhan orangtua.
Umumnya, lembaga pendidikan berkilah, semua biaya yang ditetapkan merupakan keputusan bersama komite sekolah. Beranikah uji transparansi musyawarah komite ini? Saatnya masyarakat menagih janji Mendiknas.
Tak terhitung aduan melalui telepon maupun SMS khusus, 177 atau email: www.kemendiknas.go.id. Namun, hingga kini belum ada sekolah yang diberikan shock therapy. Mendiknas wajib tegas menjatuhkan sanksi bagi sekolah pelanggar UU.
Semoga Mendiknas tak bisu nurani saat Badan Pemeriksa Keuangan menyibak misteri 43 rekening liar Kemendiknas senilai Rp 26,4 miliar dalam laporan keuangan 2010. Demikian pula, temuan pungutan pada Badan Layanan Umum (BLU).
Momentum tepat bagi BPK dan KPK menelusuri rekening misterius ini, termasuk aneka pungutan Kemendiknas hingga Disdik di daerah. Temuan BPK ini bak jawaban atas kebisuan Kemendiknas hingga Disdik, atas liarnya penarikan dana sekolah dari walimurid saat ini.
Sekolah kategori RSBI pun tak lolos. Anggota BPK Rizal Djalil yang prihatin terhadap aneka pungutan mencekik rakyat, memastikan menelusurinya. Meminjam istilah Budayawan Sujiwo Tedjo, pendidikan telah menjadi kebutuhan primer alias pokok.
Jika rakyat tak terpenuhi kebutuhan pokoknya, apakah pemerintah menantikan bencana kebodohan bangsa? Dunia pendidikan telah kehilangan marwah kemanusiaan dan kebangsaan. Mengalami dekadensi dari pendidikan gratis era pemerintahan Bung Karno.
Kendati UU Sisdiknas mengamanatkan pendidikan gratis sampai SMP, praktik pengumpulan dana walimurid saat penerimaan peserta didik baru (PPDB) Tahun Ajaran 2011-2012, tak terhindarkan.
Di Sanggau, kaum orangtua siswa SMPN pusing tujuh keliling terhadap tingginya biaya daftar ulang siswa baru yang mencapai Rp 1,17 juta-Rp Rp 1,5 juta per siswa. Orangtua Singkawang pun tak luput kegelisahan, ketika SDN Singkawang Barat menetapkan uang pagar Rp 500 ribu.
Apa arti Permendiknas yang diterbitkan untuk menangkal pungutan sekolah dan masa orientasi sekolah Juni lalu? Anjing menggonggong kafilah berlalu. Permendiknas yang disertai surat edaran Disdik ke sekolah, tak ubahnya macan ompong.
Telinga menjadi tuli, hati nurani seolah tersisa lagi. Klaim sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), bukanlah dalih pembenar untuk mengkhianati UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Jelas disebutkan, tiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pasal 34 Ayat (2) menetapkan pemerintah dan Pemda menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ayat (3) disebutkan, wajib belajar itu tanggungjawab negara yang diselenggarakan lembaga pemerintah, Pemda dan masyarakat.
Slogan pendidikan gratis, terbukti isapan jempol. Umumnya penyelenggara pendidikan masih bermazhab Orde Baru, bukan reformis. Momentum PPDB pun dijadikan ajang mengumpulkan dana sebesar-besarnya dari kantung kusut para orangtua.
Ragam alasan pungutan pun "diadakan," termasuk penetapan pengambilan formulir menjadi ladang pengumpulan dana. Tak hanya saat masuk, mengambil ijazah siswa yang telah lulus pun tak luput dari biaya puluhan ribu rupiah.
Kebodohan Bangsa
Aneka pungutan terjadi secara terbuka maupun tertutup, dikamuflasekan dengan dalih iuran sukarela. Komite sekolah yang hingga kini belum berpihak pada walimurid pun acapkali dijadikan "tameng" menangkal protes dan keluhan orangtua.
Umumnya, lembaga pendidikan berkilah, semua biaya yang ditetapkan merupakan keputusan bersama komite sekolah. Beranikah uji transparansi musyawarah komite ini? Saatnya masyarakat menagih janji Mendiknas.
Tak terhitung aduan melalui telepon maupun SMS khusus, 177 atau email: www.kemendiknas.go.id. Namun, hingga kini belum ada sekolah yang diberikan shock therapy. Mendiknas wajib tegas menjatuhkan sanksi bagi sekolah pelanggar UU.
Semoga Mendiknas tak bisu nurani saat Badan Pemeriksa Keuangan menyibak misteri 43 rekening liar Kemendiknas senilai Rp 26,4 miliar dalam laporan keuangan 2010. Demikian pula, temuan pungutan pada Badan Layanan Umum (BLU).
Momentum tepat bagi BPK dan KPK menelusuri rekening misterius ini, termasuk aneka pungutan Kemendiknas hingga Disdik di daerah. Temuan BPK ini bak jawaban atas kebisuan Kemendiknas hingga Disdik, atas liarnya penarikan dana sekolah dari walimurid saat ini.
Sekolah kategori RSBI pun tak lolos. Anggota BPK Rizal Djalil yang prihatin terhadap aneka pungutan mencekik rakyat, memastikan menelusurinya. Meminjam istilah Budayawan Sujiwo Tedjo, pendidikan telah menjadi kebutuhan primer alias pokok.
Jika rakyat tak terpenuhi kebutuhan pokoknya, apakah pemerintah menantikan bencana kebodohan bangsa? Dunia pendidikan telah kehilangan marwah kemanusiaan dan kebangsaan. Mengalami dekadensi dari pendidikan gratis era pemerintahan Bung Karno.
(tribunnews.com)
No comments:
Post a Comment