Powered by Blogger.

"Anak-anak Bodoh" Haruskah Tersingkir?

Sunday 17 July 2011

Sengaja judul tulisan saya buat tanda petik ("anak-anak bodoh") karena sesungguhnya tiap anak (siswa) memiliki potensi atau kelebihan masing-masing, kecuali anak-anak idiot, tentu saja.

Tulisan ini terinspirasi dari seleksi penerimaan siswa baru, jenjang SMP dan SMA negeri sederajat yang sangat tidak berpihak kepada "anak-anak bodoh" ini.

Pada penerimaan siswa baru (PSB) yang lalu, terkesan "anak-anak bodoh" tersingkir atau sengaja disingkirkan dari sekolah-sekolah negeri terutama di jenjang SMP dan SMA sederajat. Mengapa tidak, seleksi yang dilakukan menutup kemungkinan "anak-anak bodoh" tersebut untuk bersekolah di sekolah negeri.

Memang untuk jenjang pendidikan dasar (SD) relatif tidak ada masalah sebab ada keseimbangan antara jumlah bangku dan jumlah pendaftar. Bahkan di beberapa daerah sudah terjadi kekurangan murid sehingga beberapa sekolah harus bergabung dengan SD sekitarnya.

Tak demikian halnya dengan memasuki jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan SMA negeri. Dibutuhkan perjuangan keras untuk mendapatkan bangku SMP dan SMA. Di sini ada sejumlah soal.

Tidak Sebanding
Pertama, untuk tingkat SMP, sekolah negeri yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah berjumlah sangat sedikit. Sulitnya masuk sekolah negeri terutama disebabkan tidak sebandingnya jumlah sekolah di semua jenjang pendidikan. Untuk sekolah dasar, misalnya ada sekira 144.000 SD di seluruh Indonesia, dan 91 persen berstatus negeri. SMP hanya 26.000 sekolah, 57 persen negeri, dan SMA sekira 16.000 sekolah sekira 37 persennya berstatus negeri (Kompas, 6 Juli 2011).

Kedua, sistem seleksi penerimaan siswa baru di SMP negeri terdiri dari dua jalur, yakni jalur prestasi dan jalur akademik. Jalur akademik didasarkan pada angka hasil ujian nasional untuk tiga mata pelajaran: Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Siswa dengan angka hasil ujian nasional tinggi berpeluang besar mendapatkan bangku di SMP negeri.

Di sini terjadi ketidakadilan. Siswa yang berhasil mendapatkan bangku SMP negeri adalah mereka yang hasil ujian nasionalnya tinggi dan pada umumnya berasal dari orangtua yang secara ekonomi masuk golongan menengah atas. Mereka sanggup menambah waktu belajar melalui berbagai bimbingan belajar yang tersebar di seluruh kota besar.

Sementara itu, siswa dengan hasil nilai ujian pas-pasan atau "anak-anak bodoh" – sengaja saya buat tanda kutip karena pada dasarnya tiap siswa memiliki potensi atau kelebihan masing-masing – berasal dari keluarga yang secara ekonomi masuk kategori tidak mampu. Mereka tidak mampu berkompetisi secara adil mendapatkan bangku di SMP negeri, sementara untuk dapat mengakses SMP swasta, mereka terkendala biaya.

Pertanyaan berikutnya, benarkah "anak-anak bodoh" ini sebenar bodoh atau cara penilaiannya yang menyebabkan anak-anak tersebut jadi "bodoh"?

Pernahkah pembaca mengenal Bill Gates? Ia telah bisa membuat program komputer dalam usia tiga belas tahun. Padahal prestasi akademiknya di sekolah biasa saja bahkan dapat dikatakan "bodoh". Program komputer telah membuatnya terobsesi, sehingga ia merelakan kuliahnya di universitas bergengsi di Amerika. Kini sekitar 70-80 persen program komputer dunia berasal dari kantornya Bill Gates.

Stave Jobs


Stave Jobs, anak yang nakal pada waktu muda dan gemar elektronika. Ia meninggalkan kuliahnya dan berhasil dalam tiga industri yang berbeda yaitu musik, komputer dan film animasi.

Sergey Brin dan Larry Page juga merelakan program doktornya karena obsesinya untuk mengkomersialkan hasil riset mesin pencarinya.

Di Indonesia juga tak sedikit orang-orang hebat yang punya prestasi akademik biasa-biasa saja atau "bodoh", bahkan ada yang tak tamat SD. Pernahkah pembaca tahu bahwa Andre Wongso sang motivator papan atas Indonesia bahkan beberapa negara Asia, ternyata putus sekolah hanya sampai kelas 5 SD saja? Ebit G Ade pun ternyata di sekolah bukan sosok yang memiliki prestasi akademik. Ini hanya sekadar contoh.

Kisah Stave Jobs lebih seru lagi. Andai Stave ketika itu menjalani pendidikan dengan sistem pendidikan seperti kita sekarang ini, saya yakin, dia tidak akan jadi apa-apa. Bahkan tidak mustahil, Stave akan hidup di jalanan.

Mengapa tidak, lingkungan sekolah yang kurang menerima, membuat Jobs jadi bengal. Beruntung, Jobs bertemu dengan Mrs Hill saat di kelas empat dan dapat menerima keberadaan Jobs apa adanya.

Hill adalah guru yang sekaligus jadi teladan bagi Jobs. "Pada waktu singkat saya menjadi sangat hormat padanya dan timbul kembali keinginan saya untuk belajar," cerita Jobs.

Jika guru mengancam, memerintah, berkhotbah dan menguliahi, anak akan menganggap dirinya bukan apa-apa dan buruk. Maka dalam dirinya tertanam: guru tidak suka saya karenanya saya tidak dapat mengerjakan sesuatu dengan benar. Hal seperti itulah yang dialami Jobs dengan guru-gurunya yang lain. Beda dengan Mrs Hill yang membuat Jobs relaks dan terhindar dari suasana penuh tekanan, menjadi lebih bersahabat dan menyenangkan.

Tanpa Tekanan


Seperti Mrs Hil, guru sebaiknya mengatakan pada anak yang seharusnya dilakukan bukan apa yang tidak boleh dilakukan. Guru memang terbiasa dengan perkataan "jangan", namun perlu diubah sehingga kondisi sekolah menjadi akrab dan menyenangkan tanpa tekanan sehingga kita tidak kehilangan calon-calon Stave Jobs.

Dengan seleksi masuk SMP dan SMA negeri seperti yang sekarang, tidakkah hal ini akan menutup pintu akan lahirnya Stave-stave Jobs Indonesia? Padahal konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga negera wajib mengikuti pendidikan dasar. Untuk itu pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 Hasil Amandemen). Lebih lanjut dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah pendidikan bagi usia tujuh tahun sampai dengan 15 tahun (SD dan SMP).

Dengan demikian, yang harus dilakukan pemerintah adalah menjamin setiap anak usia sekolah (7-15 tahun) mendapat akses pendidikan dasar, khususnya SMP. Harus dihindari adanya siswa yang tidak dapat mengakses SMP karena terkendala biaya.

Untuk itu, keadaan harus dibalik, SMP negeri seharusnya diprioritaskan bagi siswa yang orangtuanya secara ekonomi tidak mampu dan tidak didasarkan pada angka hasil ujian nasional. Siswa dari latar belakang orangtua yang secara ekonomi mampu diberi kebebasan untuk memilih SMP swasta.

Terhadap kondisi masih terbatasnya SMP negeri dan masih besarnya jumlah SMP swasta, pemerintah seharusnya berterimakasih dan, jika perlu memberi subsidi kepada SMP swasta karena telah menyediakan akses pendidikan dasar tingkat SMP, yang seharusnya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah.

Urusan Swasta


Pemerintah seharusnya lebih berkonsentrasi memperbanyak pendirian SMP negeri daripada mengembangkan sejumlah SMP negeri menjadi sekolah rintisan berstandar internasional (RSBI). Kalaupun RSBI sudah dianggap sebagai kebutuhan, biarlah sekolah swasta yang mengadakan dan menyelenggarakannya. Di Malaysia pun, sekolah berstandar internasional milik pemerintah sudah dihapuskan

Karena setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Oleh : Hidayat Banjar
(analisadaily.com)
Share this article on :

1 comment:

Mujalal said...

Woooww, verryyyyy good Alse.
SETUJU 500%. AYO TERUS KITA GEMBORKAN IDE anda INI. SAYA SUDAH LAMA BICARA INI MA TEMAN-TEMAN KU SENDIRI tapi NDAK ada yang gubrissss.

Semoga Alse bisa jadi teman saya untuk bikin REVOLUSI di dunia pendidikan.

AYO Kawan kita dengungkan terus model PSB yang tanpa SELEKSI baik di SMP maupun SMA.

MAJU TERUSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSS........!!!! AKU SIAP BERSAMA-SAMA...ALSE..!!

Post a Comment

 
© Copyright 2010-2011 Pendidikan All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.