Tak bisa dibantah bahwa pendidikan merupakan kunci peradaban bangsa. Sebab kemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari kualitas pendidikannya. Jepang bisa menjadi "macan" Asia adalah karena negara Sakura ini serius membangun pendidikannya. Mereka bisa melihat peluang dalam tantangan dan melihat kesempatan dalam hambatan. Bagaimana dengan Indonesia?
Bercermin dari sejarah, pendidikan modern di Indonesia diperkenalkan oleh bangsa asing, khususnya Belanda. Awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis yang salah satunya adalah edukasi. Mereka memberikan kesempatan kepada penduduk pribumi untuk mengecap pendidikan.
Hanya saja, yang bisa menikmati pendidikan pada masa ini adalah golongan menengah ke atas (priyayi dan bangsawan). Juga tujuannya adalah untuk menghasilkan kaum terdidik yang nantinya bisa bekerja di birokrasi pemerintahan dan perkebunan dengan upah murah. Tapi, ternyata kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi Belanda.
Bagaimana tidak. Pendidikan tersebut telah membentuk kesadaran kritis beberapa pemuda melihat penjajahan dan kemiskinan rakyat pribumi. Salah satu pemuda tersebut adalah Ki Hajar Dewantara, yang menginginkan Indonesia merdeka dari penjajahan. Pendiri Taman Siswa ini berupaya menjadikan pendidikan sebagai senjata perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan. Sehingga wajar, hari kelahiran beliau, 20 Mei, diperingati sebagai hari pendidikan nasional.
Pasca Indonesia merdeka, konstitusi mengatur bahwa kemerdekaan harus diisi dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa demi terciptanya masyarakat adil dan makmur. Kehidupan bangsa yang cerdas dapat terwujud apabila semua warga negara mengecap pendidikan. Hal ini diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Dan sebagai turunannya, lahirlah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
Namun dengan melihat praktik penyelenggaraan pendidikan, apakah telah mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah telah memanusiakan manusia (humanisasi) dan membebaskan? Pertanyaan mendasar ini sering dipertanyakan di tengah-tengah ketidakpastian arah pendidikan kita. Tampaknya pendidikan kita berada di persimpangan jalan.
Permasalahan Pendidikan
Setidaknya, ada tujuh permasalahan pendidikan kita, yakni; kebijakan pendidikan, pembiayaan pendidikan, fasilitas pendidikan, pemerataan pendidikan, kualitas guru dan dosen, perkembangan peserta didik, dan mutu pendidikan. Ketujuh permasalahan tersebut saling berhubungan.
Pertama, kebijakan pendidikan. Permasalahan mendasar kebijakan pendidikan nasional adalah upaya pelepasan tanggungjawab pemerintah terhadap dunia pendidikan. Pendidikan diserahkan kepada pasar. Misalnya dengan otonomi pendidikan bagi kampus yang berstatus Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Sehingga kampus tersebut berupaya menggalang dana dengan menaikkan uang kuliah. Otomatis, golongan menengah ke bawah semakin sulit mengecap pendidikan tinggi.
Kemunculan sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), juga menjadi mimpi buruk bagi orang miskin. Karena sekolah-sekolah ini memungut biaya yang bertarif internasional dari orang tua siswa. Lagi-lagi orang miskin tak bisa mengecap pendidikan di situ. Sebagai catatan, hingga 2010, terdapat 1.329 RSBI di Indonesia. Padahal, kualitas sekolah tersebut masih sangat diragukan.
Selain itu, kebijakan Ujian Nasional (UN) yang dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa, penuh dengan sandiwara. UN yang diadakan sejak 2003 ini justru mengkerdilkan visi pendidikan. Bagaimana tidak, dengan adanya UN sebagai penentu kelulusan, siswa hanya fokus berlatih menjawab soal-soal, bukan mengatasi persoalan. Dalam pelaksanaannya juga, praktik-praktik kecurangan (terpaksa) dilakukan secara terbuka sehingga siswa telah diajari melakukan kebohongan. Ini bertolak belakang dengan pendidikan karakter yang selalu didengung-dengungkan pemerintah.
Kedua, pembiayaan pendidikan. Biaya pendidikan yang semakin mahal membuat masyarakat kewalahan menyekolahkan anak-anaknya. Sehingga banyak anak putus sekolah karena keterbatasan dana. Lihatlah, sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31, 05 anak SD putus sekolah setiap tahunnya (Kompas, 4/3/2011). Padahal sudah ada anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD. Namun persoalannya, anggaran ini dikorupsikan dan penggunaannya tidak tepat sasaran.
Ketiga, fasilitas pendidikan. Bagaimana pun juga, fasilitas sangat menentukan kualitas pendidikan. Bagi sekolah-sekolah/kampus elite di perkotaan, barangkali fasilitasnya sudah memadai. Tapi, tidak bisa dimungkiri masih banyak sekolah-sekolah/kampus yang tidak memiliki fasilitas yang memadai. Sebagai contoh, sebanyak 70 persen dari 12.000 SD swasta dan negeri di wilayah Sumatera Utara belum memiliki perpustakaan. Sangat memprihatinkan.
Keempat, pemerataan pendidikan. Pemerataan pembangunan tampaknya belum optimal. Pendidikan di wilayah Indonesia bagian Timur masih jauh ketinggalan dengan bagian Barat. Juga, kesenjangan pendidikan antara desa (pinggiran) dengan perkotaan terlihat jelas. Di daerah tertentu, masih ada kecamatan yang tidak memiliki SMA. Jangankan antara desa dengan kota, di perkotaan saja sangat jelas terlihat kesenjangan pendidikan.
Kelima, kualitas guru dan dosen. Satu langkah baik ketika pemerintah berupaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik. Dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen merupakan langkah maju. Hanya saja, ini bukan jaminan melahirkan guru dan dosen yang profesional. Buktinya, masih banyak keluhan dari berbagai pihak, soalnya guru dan dosen yang telah menerima sertifikat pendidik ternyata tidak memiliki kemampuan mengajar yang baik.
Keenam, perkembangan peserta didik. Banyak peserta didik yang menganggap sekolah adalah penjara. Bukan tidak punya alasan, kebanyakan siswa tersebut merasa tidak bebas di dalam sekolah karena mereka mendapatkan tekanan psikologis dan fisik. Ruang berkreatifitas tertutupi dengan adanya kebijakan-kebijakan yang menekan. Dalam pengajaran juga, komunikasi satu arah (monologis) membuat siswa bosan karena suasana belajar tidak menggairahkan. Keadaan yang seperti ini sudah pasti memengaruhi perkembangan peserta didik.
Ketujuh, mutu pendidikan. Tidak sedikit siswa dan mahasiswa Indonesia yang memenangi olimpiade internasional. Selain itu, dalam pelaksanaan UN, semakin tinggi angka kelulusan siswa. Mungkin pemerintah bisa saja mengklaim bahwa itu prestasi yang membanggakan. Tapi itu tidak bisa dijadikan parameter mengukur mutu pendidikan kita.
Bila dibandingkan dengan Malaysia, pendidikan kita sudah jauh ketinggalan. Negara yang pernah berguru dengan Indonesia tahun 1970-an ini, kini menjadi guru. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia pun belajar ke sana.
Kemajuan pendidikan di Malaysia tidak terlepas dari tujuan pendidikannya yang jelas dan terarah, dikenal dengan rumusan Malaysia Vision 2020 yang dirumuskan sejak tahun 1980-an. Lantas, bagaimana dengan tujuan pendidikan kita? Sepertinya kabur dan tak terarah.
Quo Vadis
Dengan melihat permasalahan tersebut, mau di bawa ke mana pendidikan kita? Mungkinkah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud jika persoalan tersebut dibiarkan? Tanpa ada reformasi pendidikan, maka persoalan bangsa juga semakin berlarut-larut.
Oleh:
Jhon Rivel Purba
(analisadaily.com)