Proses penerimaan siswa baru di Kota Malang, Jawa Timur, dinilai amburadul. Pihak pemerintah setempat mencabut Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 27 Tahun 20011 tentang Pengaturan Sumbangan Besaran SPP.
Akibatnya, sekolah berani menarik pengutan kepada calon siswa yang akan masuk di sekolah setempat. Bahkan, tak jarang sekolah juga memungut biaya kepada siswa dari keluarga tak mampu. "Bahkan sekolah juga banyak yang menolak siswa tak mampu," kata Amrullah, Koordinator Aliansi Masyarakat Miskin Malang (AMMM), Malang, Jawa Timur, Senin (20/6/2011).
Melihat amburadulnya proses PSB di Kota Malang, Amrullah, didampingi pengurus AMMM lainnya, mendatangi kantor DPRD Kota Malang, menemui Komisi D DPRD Kota Malang. "Kami hanya akan membeberkan bahwa proses PSB yang ada di Kota Malang itu amburadul, tak ada rujukan jelas. Bahkan, tidak menjalankan PP Nomor 66 Tahun 2011 tentang Pengelolalan dan Penyelenggaraan Pendidikan," jelasnya.
Bukti tidak dijalankannya PP No 66/2011 itu adalah masih besarnya dan mahalnya Sumbangan Biaya Pengembangan Pendidikan (SBPP), yang dipungut dari orangtua miskin dengan alasan sudah sesuai dengan Perwali Nomor 27 Tahun 2011 terkait penetapan SPP dan SBPP.
"Sementara, masyarakat miskin di Kota Malang itu, saat ini masih mencapai 26.344 KK. Seharusnya, hal itu harus menjadi rujukan bahwa di Kota Malang masih banyak warga miskin," katanya.
Selanjutnya, aturan terkait PP Nomor 66 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan tidak dijalankan dengan maksimal, terutama pada Pasal 53 A, terkait batas minimal 20 persen bagi siswa yang tidak mampu dan berprestasi. Banyak orangtua siswa yang miskin yang mengalami kesulitan dalam mengurus kelanjutan pendidikan anak mereka di sekolah yang dituju.
"Kami atas nama AMMM mendesak Pemkota Malang segera membuat payung hukum lagi terkait sumbangan SPP dan SBPP mengingat Perwali Nomor 27 Tahun 2011 tidak lagi diberlakukan lagi," katanya.
Kalau pemerintah setempat tak membuat payung hukum tegasnya, penarikan SPP dan SBPP untuk tahun ini, termasuk pungutan liar. "Kalau sudah nyata-nyata pungutan liar, maka hal itu dapat dipidanakan. AMMM akan memidanakan pihak yang melakukan pungutan liar dan pihak yang sengaja tak membuat payung hukum," tegasnya.
Lebih lanjut, Amrullah mengatakan, kalau pihak Diknas dan Pemkot Malang beralasan sudah terjelaskan di UU Sisdiknas dan PP Nomor 66 Tahun 2011, hal itu hanya alasan semata. "Karena di PP tidak terjelaskan secara rinci, masih harus dibeberkan oleh perwali," katanya.
Semua pihak, terutama sekolah yang bersentuhan langsung dengan siswa, jelasnya, harus menaati PP Nomor 57 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 9 Tahun. "Menaati PP 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan," katanya.
Kata Amrullah, hingga kini sudah ada 94 orangtua siswa miskin yang mengadu akibat dipersulit dan bahkan ditolak oleh sekolah untuk mendaftarkan anaknya kalau tak ada biaya. "Setelah kami dapat pengaduan, dilakukan advokasi, syukur, sebanyak 24 anak sudah diterima di SMKN 4, 7 anak diterima di SMKN 2, sebanyak 6 anak diterima di SMKN 3 dengan biaya hanya dimintai beli seragam seharga Rp 300 ribu," katanya.
Sementara itu, menanggapi apa yang dikeluhkan dan dituntut oleh AMMM, anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Sutiadji, mengatakan, pihaknya siap menindaklanjutinya. "Kita akui bahwa proses PSB di Kota Malang amburadul. Karena pihak sekolah, Diknas, tak lagi mau menggunakan perwali yang telah dibuat. Tragisnya lagi, Pemkot Malang malah mengiyakan dan mencabut perwali tersebut," katanya.
Komisi D, kata Sutiadji, tetap akan mendesak Pemkot kota Malang untuk segera memperbaiki atau merivisi perwali yang telah dicabut. "Karena kalau tidak ada perwalinya, sekolah akan seenaknya sendiri menarik pungutan ke calon siswa, terutama siswa miskin," tegasnya.
(kompas.com)
Akibatnya, sekolah berani menarik pengutan kepada calon siswa yang akan masuk di sekolah setempat. Bahkan, tak jarang sekolah juga memungut biaya kepada siswa dari keluarga tak mampu. "Bahkan sekolah juga banyak yang menolak siswa tak mampu," kata Amrullah, Koordinator Aliansi Masyarakat Miskin Malang (AMMM), Malang, Jawa Timur, Senin (20/6/2011).
Melihat amburadulnya proses PSB di Kota Malang, Amrullah, didampingi pengurus AMMM lainnya, mendatangi kantor DPRD Kota Malang, menemui Komisi D DPRD Kota Malang. "Kami hanya akan membeberkan bahwa proses PSB yang ada di Kota Malang itu amburadul, tak ada rujukan jelas. Bahkan, tidak menjalankan PP Nomor 66 Tahun 2011 tentang Pengelolalan dan Penyelenggaraan Pendidikan," jelasnya.
Bukti tidak dijalankannya PP No 66/2011 itu adalah masih besarnya dan mahalnya Sumbangan Biaya Pengembangan Pendidikan (SBPP), yang dipungut dari orangtua miskin dengan alasan sudah sesuai dengan Perwali Nomor 27 Tahun 2011 terkait penetapan SPP dan SBPP.
"Sementara, masyarakat miskin di Kota Malang itu, saat ini masih mencapai 26.344 KK. Seharusnya, hal itu harus menjadi rujukan bahwa di Kota Malang masih banyak warga miskin," katanya.
Selanjutnya, aturan terkait PP Nomor 66 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan tidak dijalankan dengan maksimal, terutama pada Pasal 53 A, terkait batas minimal 20 persen bagi siswa yang tidak mampu dan berprestasi. Banyak orangtua siswa yang miskin yang mengalami kesulitan dalam mengurus kelanjutan pendidikan anak mereka di sekolah yang dituju.
"Kami atas nama AMMM mendesak Pemkota Malang segera membuat payung hukum lagi terkait sumbangan SPP dan SBPP mengingat Perwali Nomor 27 Tahun 2011 tidak lagi diberlakukan lagi," katanya.
Kalau pemerintah setempat tak membuat payung hukum tegasnya, penarikan SPP dan SBPP untuk tahun ini, termasuk pungutan liar. "Kalau sudah nyata-nyata pungutan liar, maka hal itu dapat dipidanakan. AMMM akan memidanakan pihak yang melakukan pungutan liar dan pihak yang sengaja tak membuat payung hukum," tegasnya.
Lebih lanjut, Amrullah mengatakan, kalau pihak Diknas dan Pemkot Malang beralasan sudah terjelaskan di UU Sisdiknas dan PP Nomor 66 Tahun 2011, hal itu hanya alasan semata. "Karena di PP tidak terjelaskan secara rinci, masih harus dibeberkan oleh perwali," katanya.
Semua pihak, terutama sekolah yang bersentuhan langsung dengan siswa, jelasnya, harus menaati PP Nomor 57 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 9 Tahun. "Menaati PP 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan," katanya.
Kata Amrullah, hingga kini sudah ada 94 orangtua siswa miskin yang mengadu akibat dipersulit dan bahkan ditolak oleh sekolah untuk mendaftarkan anaknya kalau tak ada biaya. "Setelah kami dapat pengaduan, dilakukan advokasi, syukur, sebanyak 24 anak sudah diterima di SMKN 4, 7 anak diterima di SMKN 2, sebanyak 6 anak diterima di SMKN 3 dengan biaya hanya dimintai beli seragam seharga Rp 300 ribu," katanya.
Sementara itu, menanggapi apa yang dikeluhkan dan dituntut oleh AMMM, anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Sutiadji, mengatakan, pihaknya siap menindaklanjutinya. "Kita akui bahwa proses PSB di Kota Malang amburadul. Karena pihak sekolah, Diknas, tak lagi mau menggunakan perwali yang telah dibuat. Tragisnya lagi, Pemkot Malang malah mengiyakan dan mencabut perwali tersebut," katanya.
Komisi D, kata Sutiadji, tetap akan mendesak Pemkot kota Malang untuk segera memperbaiki atau merivisi perwali yang telah dicabut. "Karena kalau tidak ada perwalinya, sekolah akan seenaknya sendiri menarik pungutan ke calon siswa, terutama siswa miskin," tegasnya.
(kompas.com)
No comments:
Post a Comment