Powered by Blogger.
Thursday, 30 June 2011

Paksa orang tua siswa menyumbang, langgar konstitusi

Peneliti senior bidang pendidikan ICW, Febri Hendri, mengatakan berdasarkan UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan dasar dan menengah wajib diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia dan wajib dibiayai oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui APBN dan APBD, tanpa dipungut biaya apapun.

"Jadi sekolah dasar dan SMP negeri yang berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) maupun berstandar nasional, sudah dibiaya penuh oleh APBN dan APBD, jadi tidak perlu lagi memungut biaya apapun dari wali murid," tandas Febri saat dihubungi primaironline.com, Sabtu (25/6). Hal ini terkait kabar adanya kasus penahanan buku raport di SMP Negeri I Cikini, Jakarta Pusat, hanya karena sejumlah orang tua murid belum melunasi sumbangan pendidikan sebesar Rp7 juta.

Namun, hal itu dibantah pihak sekolah, termasuk besaran sumbangan yang dikatakan tidak sebesar itu dan tanpa paksaan.

Menurut Febri, kasus penolakan wali murid SMP Negeri 1 Cikini Jakarta Pusat atas sumbangan sebesar Rp7 juta terhadap pihak sekolah dinilai tepat. Karena sumbangan tersebut bersifat tidak wajib. "Karena yang berstatus standar internasional maupun nasional sudah dibiayai oleh pemerintah," ujar dia

Dia mengatakan, jika pihak sekolah masih menetapkan sumbangan jelas sudah bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional. Kecuali untuk tingkat SMA memang ada aturan dipungut biaya.

Kalaupun dipungut biaya, lanjut Febri, harus transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, selama sekolah-sekolah khusus SD dan SMP yang bertaraf internasional dan nasional tidak terbuka, orang tua wajib menolak membayar. Apalagi kalau sampai mematok target dan mewajibkan tanpa melihat kemampuan orang tua siswa.
(primaironline.com)

70 Persen dari Rp 86 Miliar DAK SD/SMP Bandung Terancam Hangus

Pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan tingkat SD/SMP tahun 2011 senilai 70 persen dari Rp 86 miliar terancam hangus. Apabila DAK 2010 senilai Rp 66 miliar dari Rp 77 miliar tidak terserap di tahun 2011 ini.

Demikian yang dikemukakan Ketua Komisi D Arifin Sobari saat meminta klarifikasi kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kab. Bandung tentang DAK Pendidikan, di Ruang Banmus DPRD Kab. Bandung, Kamis (30/6). Menurut Arifin, permasalahan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) 

Kabupaten Bandung bagaikan fenomena gunung es yang disaat permukaannya mencair, berbagai masalah timbul ke permukaan.
“Seperti halnya DAK 2010 yang belum terserap dengan baik. Sehingga sangat mengancam DAK pendidikan 2011 senilai 70 persen dari Rp 86 miliar,''ujar Arifin.

Arifin menilai Disdikbud tidak serius mengupayakan semua tupoksinya secara cepat. “Masa hingga kini, DAK 2010 hanya terserap Rp 11 miliar dari Rp 77 miliar,” ucapnya kesal.

Arifin menjelaskan, Padahal DAK itu sangat dibutuhkan sekolah untuk menunjang Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). “Tenggang waktu penyerapan DAK Pendidikan 2010 yakni sebelum dilakukan perubahan anggaran 2011, kalau tidak tidak terserap akan mengancam hangusnya DAK 2011,” tegasnya.

Apabila sisa DAK 2011 tidak dapat dicairkan, kata Arifin, akan sangat merugikan dunia penddikan serta akan menjadi bahan pertanyaan oleh masyarakat tentang kinerja Disdikbud Kab. Bandung.

Ia menyesalkan, hingga satu semester ini Disdikbud Kab. bandung tak kunjung menyelesaikan DAK 2010. “Sebenarnya jika ada kendala, seharusnya dewan diberitahukan,” katanya.

Selain itu, Arifin juga mengeluhkan, tidak diberikannya draft Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) 2011 Disdikbud kepada pihaknya sehingga ia dan anggota dewan lainnya sama sekali belum memiliki RKA itu. ''Kami butuh kepastian program Disdikbud soal dana perencanaan kegiatan. Bahkan, juga jumlah kerusakan sekolah tidak pernah ada hitam diatas putih ke komisi,”ujar Arifin.

Di tempat yang sama, Plt Sementara Kepala Disdikbud Kabupaten Bandung, Agus Firman tidak menampik persoalan yang diungkapkan Ketua Komisi D itu. Menurut Agus, permasalahan yang mengakibatkan DAK belum terserap karena Juklak dan Juknis baru diterimanya Desember 2010 sehingga baru akan dilakukan tahun ini. “Apalagi, perubahan Permendiknas nomor 5 menjadi nomor 18 untuk SD dan nomor 19 untuk SMP tahun 2010 tentang swakelola menjadi sistem lelang sehingga kita tidak bisa menyimpang dari Permendiknas itu,” kata Agus.
 
Firman menolak juga jika pihak Disdikbud dianggap tidak serius menangani kerusakan sekolah, sebab DAK 2010 untuk rehab SD sudah dalam tahap ajuan lelang senilai Rp 41 miliar, dan untuk SMP pada permohonan lelang senilai Rp 23 miliar yang semuanya harus menggunakan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). “Kita harus antre sehingga tidak bisa sekaligus melakukan LPSE sebab banyak daerah lain juga yang ikut LPSE,” katanya sambil berharap sebelum perubahan anggaran tahun ini DAK 2010 bisa terserap
(pikiran-rakyat.com)
Thursday, 23 June 2011

SD Negeri Ambruk; Gara-gara Nga ditanggapin Pemerintah, Siswanya Belajar di Sawung

Puluhan siswa SD Negeri Budiwangi di desa Cibulan, terpaksa belajar di sebuah saung, tak jauh dari sekolah mereka, karena bangunan SD ambruk akibat gempa yang menggoncang daerah itu tahun 2009, sampai saat ini belum diperbaiki.

"Tidak enak belajar di saung, keringatan karena hawa panas dan debu beterbangan saat angin bertiup kencang. Kami jadi tidak bisa konsentrasi saat menerima pelajaran dari guru," kata Novi, salah satu murid SD Negeri Budiwangi.

Di Jombang, sebuah gedung sekolah ambruk padahal baru empat bulan diresmikan penggunaannya, mengakibatkan empat siswa dan seorang guru cedera akibat tertimpa reruntuhan bangunan.

Kapolres Jombang AKBP Marjuki berjanji akan menyelidiki kasus ini dan bila ternyata ada penyimpangan dalam pembangunan gedung tersebut, pihak-pihak terkait akan berurusan dengan hukum.

Para siswa SD Negeri Gombong 7, Pandeglang, Banten juga terpaksa belajar di masjid kampung tanpa meja dan kursi, karena bangunan sekolah mereka rusak berat.

Sudah tiga bulan terakhir ini masjid di kecamatan Panimbang dipadati anak-anak sekolah tersebut.

SDN itu rusak berat, enam ruang kelas dan ruang guru tak layak digunakan karena berbahaya bagi keselamatan. Beberapa waktu silam, sejumlah siswa bahkan sempat tertimpa eternit ruang kelas yang ambruk.

Upaya pengajuan proposal perbaikan bangunan, selama beberapa tahun terakhir, tidak pernah mendapat tanggapan dari instansi terkait di Pandeglang. Menurut data Dinas Pendidikan Provinsi Banten, terdapat hampir 7.000 ruang kelas SD di Banten, kondisinya rusak parah.

Di Jakarta, kanopi SD Kwitang 1 beberapa waktu lalu ambruk menyebabkan beberapa siswa dan seorang pengelola kantin luka-luka. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo yang meninjau ke lokasi tersebut menegaskan akan menyidik kejadian itu dan jika pemborong melanggar akan dimasukkan dalam 'black list' atau daftar hitam.

Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, Kemdiknas tahun ini menyiapkan dana Rp10,4 triliun untuk perbaikan atau rehabilitasi bangunan fisik sekolah di seluruh daerah di Indonesia yang akan dimasukkan dalam dana alokasi khusus (DAK).

Data menunjukkan, sebanyak 20,97 persen ruang kelas SD rusak, sedangkan SMP sekitar 20,06 persen. Sampai 2011 ini ruang kelas SD yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Di tingkat SMP ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas yang ada.

Bantuan tersebut, kata Mohammad Nuh, untuk mendukung kekurangan anggaran perbaikan bangunan sekolah dari masing-masing daerah. "Hasil survei menunjukkan, ada beberapa sekolah yang harus menjalani perbaikan fisik," katanya.

Meski diakuinya besaran nilai bantuan dari pemerintah pusat untuk rehabilitasi sekolah masih sangat kecil, namun dana tersebut dapat digunakan untuk pengadaan alat peraga dan laboratorium. "Setelah adanya perbaikan, diharapkan pemda lebih tergugah untuk melakukan perbaikan fasilitas pendidikan lainnya di daerahnya," katanya Dia juga mengingatkan bahwa daerah harus mengeluarkan dana perbaikan sekolah rusak untuk jenjang SD-SMP. Tetapi, Kemendiknas tidak bisa menutup mata jika ada sekolah rusak dibiarkan begitu saja. "Kami akan bekerja sama, Kemendiknas menyediakan dana dan daerah yang mengumpulkan datanya," katanya.

Mumpung dana pendidikan setiap tahun naik, maka sekolah yang rusak ini harus secepatnya diperbaiki,? kata menteri sambil menambahkan bahwa harus ada perubahan orientasi untuk memperhatikan sekolah kelas menengah ke bawah.

Respon daerah Kemdiknas juga mulai mengucurkan anggaran darurat ke kawasan bencana untuk memperbaiki sarana pendidikan yang rusak disapu bencana seperti di Merapi (Daerah Istimewa Yogyakarta), Wasior (Papua), dan Mentawai (Sumbar). Hanya saja instansi ini masih terkendala oleh pendataan, kata Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas, Suyanto.

"Harus dipetakan dulu," katanya beberapa waktu lalu. Maksudnya, kawasan yang masuk ring satu, atau paling dekat dengan sumber bencana akan direlokasi total.

Meski sudah mendapat informasi dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi Kemendiknas tetap harus mendata ulang.

Untuk sekolah-sekolah yang rusak parah di ring satu menurut Suyanto, tidak ada pilihan lain kecuali dicarikan lokasi baru. "Ini menambah waktu penyelesaian rekonstruksi sarana pendidikan di kawasan bencana," katanya Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sleman melansir kerusakan pada sarana pendidikan di wilayahnya: lima TK, tujuh SD, dan dua SMK. Dari seluruh kerusakan tersebut, perkiraan kerugian mencapai Rp20,5 miliar.

Sementara itu Dinas Pendidikan Pemkab Jember terus berupaya melakukan perbaikan gedung sekolah yang rusak, khususnya SD, baik karena faktor usia bangunan ataupun diakibatkan oleh bencana alam.

Menurut Kabid TK/SD Dinas Pendidikan Pemkab Jember, Drs. Jumari, Msi Dinas pendidikan telah membuat rencana kerja untuk menangani SD rusak, dan mengklasifikasikan dalam berbagai kategori, mulai dari rusak berat, sedang, hingga rusak ringan.

"Prioritas kami adalah memperbaiki bangunan SD yang rusak berat dengan anggaran dari berbagai sumber seperti murni dari UPT dinas pendidikan, dana alokasi khusus dan dana insentif daerah (DID). Akhir 2011 ini baik kerusakan bangunan SD maupun pembangunan ruang kelas baru (RKB) akan dapat ditangani," ujarnya.

Berdasarkan analisa prioritas ada 12 SD yang akan segera diperbaiki termasuk SDN Banjarsengon I. Di Kabupaten Jember saat ini sedikitnya ada 267 SD tergolong rusak berat dan baru 213 SD diantaranya yang akan diperbaiki karena keterbatasan anggaran.

"Dengan perbaikan tersebut setidaknya Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember telah membangun kembali 624 ruang kelas rusak," katanya dan menambahkan bahwa saat ini kerusakan bangunan SD hampir merata di seluruh kecamatan di kabupaten Jember.

Di kabupaten Bekasi, ada sekitar 702 unit gedung SD dan 105 unit gedung SMP dalam keadaan rusak parah dan dinas pendidikannya tahun 2011 memprioritaskan perbaikan seluruh bangunan sekolah tersebut.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Bekasi, Rusdi M Biomed, berdasar data 2010 untuk yang mengalami kerusakan sedang jumlahnya mencapai 430 bangunan.

Prioritas Disdik Kabupaten Bekasi 2011 ini adalah perbaikan ruang kelas di sekolah-sekolah yang bangunannya rusak berat. Anggarannya dari alokasi insentif daerah 2010 sebesar Rp19 miliar, dana percepatan infrastruktur (DPI) 2010 Rp1 miliar dan dana alokasi khusus Rp48 miliar.

Meski perbaikan gedung sekolah yang rusak tidak bisa dilakukan secara serempak dalam waktu bersamaan di seluruh Nusantara karena keterbatasan dana, tetapi tampaknya niat dan upaya ke arah itu dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan.

Gedung sekolah adalah salah satu unsur penting dalam dunia pendidikan yakni sarana untuk mencetak lulusan berkualitas, maka tak pelak, perbaikan fisiknya layak diperjuangkan.
(berita8.com)

Disdik Sukoharjo Wajibkan Siswa Baru Beli Seragam Rp 598.250

Kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, yang mewajibkan siswa membeli bahan seragam sekolah dikeluhkan sejumlah wali murid di daerah ini.

Kewajiban untuk membeli seragam sekolah tersebut tidak hanya berlaku untuk siswa baru, tetapi juga diwajibkan bagi siswa yang naik kelas. Bedanya, siswa baru wajib membeli seragam sebanyak lima stel pakaian, sedangkan untuk siswa yang naik kelas hanya disuruh membeli dua stel berupa kain batik.

Untuk siswa baru di SMP di Sukoharjo diwajibkan membeli lima stel bahan pakaian seharga Rp 598.250, sedangkan untuk siswa yang naik kelas diminta membeli dua stel bahan pakaian dengan harga Rp 215 ribu.

Sementara itu, siswa baru SMA  diwajibkan untuk membeli lima stel bahan pakaian yang harganya dipatok Rp 795 ribu, sedangkan siswa yang naik kelas wajib membeli dua stel pakaian batik seharga Rp 290 ribu.

Kewajiban untuk membeli bahan seragam sekolah baru ini dikecam keras oleh oleh wali murid. Apalagi, semua siswa sekolah diwajibkan untuk membeli seragam baru. “Aturan itu sangat memberatkan kami,” kata Parjo Mulyono, salah seorang wali dari siswi SMP Negeri 2 Tawangsari.

Hal yang sama juga dikeluhkan oleh Sri Harmoyo, warga Kecamatan Weru. “Bagaimana kami bisa berharap pendidikan gratis jika untuk seragam saja harganya sudah sangat tinggi,” kata Harmoyo. Dia berharap agar sekolah memberi kebebasan kepada siswa untuk membeli seragam di pasar.

Kepala Bidang Sekolah Menengah Pertama dan Atas Dinas Pendidikan Sukoharjo, Dwi Atmojo Heri membenarkan adanya kewajiban tersebut. Menurutnya, harga yang diterapkan tersebut telah diseragamkan di semua sekolah. Tetapi Dwi berkilah, sekolah dibebaskan untuk mencari rekanan dalam pengadaan pakaian tersebut. "Untuk seragam batik, motifnya ditentukan dinas," kata Dwi Atmojo, Kamis 23 Juni 2011.

Aturan untuk membeli seragam sekolah baru ini juga dikritik Wakil Ketua DPRD Sukoharjo, Jaka Wuryanta. "Kami akan segera panggil  Dinas Pendidikan," katanya.

Dia menyebut, Dinas Pendidikan Sukoharjo telah menyalahi Peraturan Pemerintah nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. “Penjualan buku, bahan ajar serta pakaian seragam di sekolah itu dilarang,” kata Jaka.

Apalagi, kata dia, Dinas menetapkan harga pakaian seragam terlampau tinggi. “Di pasaran harganya bisa jauh lebih murah,” kata Jaka. Apalagi, pakaian seragam tersebut menggunakan bahan polyster yang kurang bagus dalam menyerap keringat. “Tidak cocok untuk anak sekolah,” katanya menambahkan.

Dewan, kata Jaka, juga akan meneliti adanya kemungkinan praktik monopoli dalam pengadaan seragam tersebut. “Kenyataannya, corak batik itu tidak tersedia di pasaran,” kata Jaka.

(tempointeraktif.com)

Orang Tua Keluhkan Pungutan Sekolah

Sejumlah orang tua murid di Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng) mengeluhkan pungutan yang dikutip sekolah. Meski nilainya ratusan ribu, tetapi sangat memberatkan, terutama bagi kalangan warga miskin.

Salah seorang warga, Noto, misalnya mengungkapkan kalau dirinya harus menyediakan uang Rp600 ribu untuk biaya anaknya yang naik dari kelas 1 ke kelas 2 di sebuah SMK di Purbalingga.

"Anak saya mendaftar ulang di SMK, ternyata sekolah meminta biaya Rp600 ribu," ujar Noto dalam pesan singkat pada saat Dialog Interaktif Pendidikan di Operation Room, Pemkab Purbalingga, Kamis (23/6).

Keluhan juga datang dari sejumlah warga lainnya. Hanya saja, mereka tidak menyebutkan nominalnya berapa.

"Kami merasa sangat berat dengan biaya daftar ulang kenaikan kelas," begitu bunyi pesan pendek dari warga lainnya.

Menanggapi keluhan-keluhan tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga Heny Ruslanto mengatakan pungutan pada saat kenaikan kelas merupakan kesepakatan antara sekolah dengan komite sekolah.

"Kalau pungutan semacam itu, bukan kebijakan dinas melainkan kesepakatan antara komite dengan sekolah," ujarnya.

Ketua Komisi C DPRD Purbalingga Adi Yuwono mengatakan pihaknya siap menerima keluhan dari masyarakat terkait biaya sekolah.

"Silakan warga yang keberatan dengan pungutan uang pendidikan, melaporkan kepada dewan. Kami akan berusaha membantu untuk menyelesaikan persoalan tersebut," katanya.

Bupati Purbalingga Heru Sudjatmoko menyatakan kalau pemkabb sebetulnya terus berusaha untuk mengangkat warga miskin supaya tetap dapat bersekolah.

"Pemkab akan menampung anak-anak miskin dalam satu sekolah dan diasramakan. Tahun 2011 ini, pemkab membangun tiga SMK yang diprioritaskan untuk warga miskin. Tahun depan, SMK bisa menerima siswa," ujar Heru.

Pembangunan tersebut dibiayai melalui alokasi dana insentif daerah (DID). Total anggaran DID tahun 2011 mencapai Rp27,7 miliar. Selain untuk membangun sekolah, dana itu juga dialokasikan bagi 60 TK Rp10 juta masing-masing dan merekab sekolah.
(mediaindonesia.com)
Monday, 20 June 2011

Korupsi Marak Bukti Kegagalan Sistem Pendidikan

Sekretaris Jendral Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan menilai maraknya perilaku korupsi saat ini merupakan buah dari kegagalan pendidikan di masa lalu. Dia mengibaratkan pendidikan laksana menanam buah kurma yang hasilnya dinikmati puluhan tahun mendatang.

"Apabila hasil pendidikan seperti sekarang, apa yang terjadi nanti 20 tahun ke depan?" kata Iwan dalam diskusi bertema "Tragedi Siami dan Negeri Kleptorasi" di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (18/6).

Iwan mengaku sepakat tentang perlunya reformasi di bidang pendidikan. Sebab, hasilnya akan dinikmati oleh bangsa ini beberapa tahun kemudian. "Hasil pendidikan sekarang kalau diperbaiki, hasilnya bisa dinikmati 20 tahun mendatang," kata Iwan.

Ditegaskannya, keberhasilan pendidikan tidak dapat diukur dari lima tahun masa jabatan pemimpin, baik itu presiden, gubernur, bupati maupun wali kota. "Semua itu bukan ukuran keberhasilan pendidikan," tegasnya.

Dia juga memaparkan bahwa pendidikan tidak hanya dinilai dengan angka-angka saja. "Sistem sekarang lebih banyak menimbulkan persoalan di masyarakat," tegasnya.

Hasil unas yang hanya dilihat dari angka-angka, sebut Iwan, tidak akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan moral bangsa. "Saya tidak setuju guru disanksi jika (kasus Siami). Karena guru melakukan itu karena keterpaksaan dan tekanan. Hapuskan yang menyebabkan guru melakukan itu. Cukup ujian nasional sampai tahun ini saja," ungkap Iwan.
(jpnn.com)

Polisi Periksa Panlok 82 Unhas Pekan Ini

Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar menjadwalkan pemeriksaan Panitia Lokal (Panlok) 82 Universitas Hasanuddin (Unhas), pekan ini. Pemeriksaan tersebut terkait dugaan kebocoran soal Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) 2011.

Wakil Kepala Satuan Reskrim Polrestabes Makassar Kompol Muhammad Nurdin mengungkapkan, pihaknya akan memeriksa sejumlah profesor yang menjadi panitia SNMPTN. Hanya, dia enggan menyebutkan akademisi yang akan diperiksa dan dugaan keterlibatannya dalam kasus tersebut. “Ada beberapa profesor yang akan diperiksa pekan ini.Surat panggilan pemeriksaan sudah dilayangkan ke mereka,”tuturnya kepada SINDO,kemarin.

Pemanggilan itu dilakukan setelah polisi mengembangkan dan memeriksa sejumlah saksi. Muhammad Nurdin mengaku, polisi telah mengantongi sejumlah titik yang memungkinkan terjadinya kebocoran soal, mulai proses pengiriman soft copy dari Jakarta, pencetakan soal di Unhas,penyaluran,hingga penyimpanan soal.

Dari hasil penelusuran,soft copy soal SNMPTN itu diterima Rektor Unhas Idrus Paturusi. Sebelum dicetak, masih ada beberapa jenjang yang harus dilewati. Sementara itu, saat pencetakan, prosesnya di bawah pengawasan aparat kepolisian. “Rektor Unhas belum dijadwalkan diperiksa. Tetapi, pemeriksaan itu akan mengarah ke sana jika memang ada indikasi keterlibatan atau kecerobohan sehingga terjadi kebocoran soal,”ujarnya.

Dugaan kebocoran soal SNMPTN ini bermula ketika panitia mengamankan 12 orang yang kedapatan menerima kunci jawaban saat mengikuti tes, Rabu (1/6). Peserta yang diamankan dari beberapa lokasi itu mengaku mendapatkan jawaban dari seseorang dengan harga yang bervariatif. Dari keterangan mereka, sebelum bertransaksi, mereka diperlihatkan contoh soal jawaban yang sama persis dengan soal ujian SNMPTN saat itu.

Selain memeriksa Panlok 82 Unhas, Reskrim Polrestabes juga akan memeriksa polisi yang bertugas mengawal soal. Jika terbukti ada kelalaian menjalankan tugasnya,aparat yang bertugasakan dikenakansanksi dan diproses.“Kami juga akan menyelidiki keterlibatan lembaga bimbingan belajar. Jika terbukti melakukan pelanggaran, akan dijerat sesuai hukum yang berlaku,”tandasnya. Seputar Indonesia-rahmat hardiansya.
(makassarterkini.com)

Tolak Siswa Miskin, Sekolah Dipidanakan?

Proses penerimaan siswa baru di Kota Malang, Jawa Timur, dinilai amburadul. Pihak pemerintah setempat mencabut Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 27 Tahun 20011 tentang Pengaturan Sumbangan Besaran SPP.

Akibatnya, sekolah berani menarik pengutan kepada calon siswa yang akan masuk di sekolah setempat. Bahkan, tak jarang sekolah juga memungut biaya kepada siswa dari keluarga tak mampu. "Bahkan sekolah juga banyak yang menolak siswa tak mampu," kata Amrullah, Koordinator Aliansi Masyarakat Miskin Malang (AMMM), Malang, Jawa Timur, Senin (20/6/2011).

Melihat amburadulnya proses PSB di Kota Malang, Amrullah, didampingi pengurus AMMM lainnya, mendatangi kantor DPRD Kota Malang, menemui Komisi D DPRD Kota Malang. "Kami hanya akan membeberkan bahwa proses PSB yang ada di Kota Malang itu amburadul, tak ada rujukan jelas. Bahkan, tidak menjalankan PP Nomor 66 Tahun 2011 tentang Pengelolalan dan Penyelenggaraan Pendidikan," jelasnya.

Bukti tidak dijalankannya PP No 66/2011 itu adalah masih besarnya dan mahalnya Sumbangan Biaya Pengembangan Pendidikan (SBPP), yang dipungut dari orangtua miskin dengan alasan sudah sesuai dengan Perwali Nomor 27 Tahun 2011 terkait penetapan SPP dan SBPP.

"Sementara, masyarakat miskin di Kota Malang itu, saat ini masih mencapai 26.344 KK. Seharusnya, hal itu harus menjadi rujukan bahwa di Kota Malang masih banyak warga miskin," katanya.

Selanjutnya, aturan terkait PP Nomor 66 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan tidak dijalankan dengan maksimal, terutama pada Pasal 53 A, terkait batas minimal 20 persen bagi siswa yang tidak mampu dan berprestasi. Banyak orangtua siswa yang miskin yang mengalami kesulitan dalam mengurus kelanjutan pendidikan anak mereka di sekolah yang dituju.

"Kami atas nama AMMM mendesak Pemkota Malang segera membuat payung hukum lagi terkait sumbangan SPP dan SBPP mengingat Perwali Nomor 27 Tahun 2011 tidak lagi diberlakukan lagi," katanya.

Kalau pemerintah setempat tak membuat payung hukum tegasnya, penarikan SPP dan SBPP untuk tahun ini, termasuk pungutan liar. "Kalau sudah nyata-nyata pungutan liar, maka hal itu dapat dipidanakan. AMMM akan memidanakan pihak yang melakukan pungutan liar dan pihak yang sengaja tak membuat payung hukum," tegasnya.

Lebih lanjut, Amrullah mengatakan, kalau pihak Diknas dan Pemkot Malang beralasan sudah terjelaskan di UU Sisdiknas dan PP Nomor 66 Tahun 2011, hal itu hanya alasan semata. "Karena di PP tidak terjelaskan secara rinci, masih harus dibeberkan oleh perwali," katanya.

Semua pihak, terutama sekolah yang bersentuhan langsung dengan siswa, jelasnya, harus menaati PP Nomor 57 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 9 Tahun. "Menaati PP 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan," katanya.

Kata Amrullah, hingga kini sudah ada 94 orangtua siswa miskin yang mengadu akibat dipersulit dan bahkan ditolak oleh sekolah untuk mendaftarkan anaknya kalau tak ada biaya. "Setelah kami dapat pengaduan, dilakukan advokasi, syukur, sebanyak 24 anak sudah diterima di SMKN 4, 7 anak diterima di SMKN 2, sebanyak 6 anak diterima di SMKN 3 dengan biaya hanya dimintai beli seragam seharga Rp 300 ribu," katanya.

Sementara itu, menanggapi apa yang dikeluhkan dan dituntut oleh AMMM, anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Sutiadji, mengatakan, pihaknya siap menindaklanjutinya. "Kita akui bahwa proses PSB di Kota Malang amburadul. Karena pihak sekolah, Diknas, tak lagi mau menggunakan perwali yang telah dibuat. Tragisnya lagi, Pemkot Malang malah mengiyakan dan mencabut perwali tersebut," katanya.

Komisi D, kata Sutiadji, tetap akan mendesak Pemkot kota Malang untuk segera memperbaiki atau merivisi perwali yang telah dicabut. "Karena kalau tidak ada perwalinya, sekolah akan seenaknya sendiri menarik pungutan ke calon siswa, terutama siswa miskin," tegasnya.
(kompas.com)

Sebaiknya Trisakti Dijadikan PTN

Berkaitan dengan kasus Universitas Trisakti, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Azis Syamsuddin, menyatakan yang terbaik memang perguruan tinggi (PT) itu dikembalikan kepada negara menjadi perguruan tinggi negeri (PTN). Pasalnya, dengan cara itu kemaslahatan publik lebih dikedepankan.
 
Azis menyatakan hal itu kepada wartawan di Jakarta kemarin. "Itu lebih baik ditinjau dari semua sisi. Akan lebih bermanfaat buat publik," kata Azis yang juga Ketua Umum DPP KNPI tersebut.

Sementara saat ditanya tentang putusan MA yang memenangkan pihak Yayasan Trisakti, menurut Azis, sepengetahuan dia perkara itu masih tengah dalam proses peninjauan kembali (PK). "Setahu saya masih dalam proses PK," kata dia.

Selain itu, ia mendengar beberapa hal yang membuat eksekusi putusan MA itu sukar dilaksanakan karena beberapa hambatan prinsip.

Sementara itu dihubungi secara terpisah Ketua Forum Komunikasi Karyawan Universitas Trisakti Dr Advendi Simangunsong juga mengingatkan bahwa memang seolah dalam Keputusan MA disebutkan para tergugat adalah sembilan pimpinan Usakti.

Namun jika dilihat dari amar No. 4 Keputusan tersebut jelas disebutkan bahwa siapapun tanpa kecuali pihak-pihak yang telah mendapat hak dan wewenang dari para tergugat, dilarang memasuki kasawan Usakti dan melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Artinya para dosen, staf dan karyawan bahkan para mahasiswa yang bisa kuliah di Usakti karena mendapat kewenangan dari Rektor (tergugat), juga akan termasuk para pihak yang tidak bisa memasuki kawasan Usakti dan melakukan proses belajar mengajar di sana.

"Ini jelas akan mengancam 30.000 civitas akademika Usakti. Sembilan orang itu hanya 'pintu masuk' saja," lanjut Advendi.

Untuk itu Advendi meminta PN Jakarta barat membatalkan rencana eksekusi. Ini jelas non executable," ujar Advendi.
(Suarakarya-online.com)

Orang Miskin ga Pantas masuk Sekolah

Salah satu kisah pilu warga miskin ditengah kebutuhannya akan mengenyam dunia pendidikan demi masa depan yang lebih baik. Ketika sebagian orang sedang menikmati liburan sekolah dan yang lain sedang sibuk menyiapkan tahun ajaran baru, warga miskin justru kebingungan memikirkan cara bisa melanjutkan sekolah. Bahkan, saat ini makin mudah menjumpai warga miskin yang kesulitan untuk menyekolahkan anaknya.

Contohnya di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, sejumlah warganya hidup dalam kemiskinan kendati tetap berupaya agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak. Lihat saja Sahawiyah dan enam anaknya yang tinggal di gubuk reot di kawasan hutan Binuang, Polman. Tidak ada lampu dan makan juga tidak selalu tersedia. Di balik semua keterbatasan itu, Sahawiyah mengaku masih bisa bersyukur karena tiga anaknya bisa kembali bersekolah, meski anaknya yang lainnya tak bisa mengecap pendidikan karena tak ada biaya (liputan6.com).

Kenyataannya di negeri ini, warga miskin ga pantas mikir ikut sekolah, ga pantas masuk sekolah. Bukan karena ga pinter, tapi karena ga mampu bayar. Omong kosong undang-undang yang dibuat yang katanya menjamin setiap warga untuk mendapatkan pendidikan. Omong kosong para pejabat yang perduli dengan nasib rakyat kecil. Sebaliknya mereka malah memperkaya diri dan mengkhianati dengan banyaknya bukti korupsi.

Padahal pendidikan adalah hak dan kebutuhan wajib bagi seseorang. Apa jadinya jika akses pendidikan seseorang ditutup. Tanpa sadar negeri ini telah membunuh mereka. Membunuh secara tidak langsung dengan menutup potensi-potensi kecerdasan yang dimiliki warga-warga miskin ini. Akh, siapa pula yang mau memikirkan warga miskin???
Sunday, 19 June 2011

Sarjana Kurang Tertarik Jadi Pengusaha

Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Papua, Bahlil Lahadalia mengakui, para sarjana lulusan berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah Papua, kurang berminat menjadi pengusaha.

"Lulusan perguruan tinggi (PT) di Papua dominan memilih menjadi PNS, padahal peluang usaha di tanah Papua masih terbuka luas," kata Ketua HIPMI Papua Bahlil Lahadalia di Biak, Minggu (19/6/2011).

Bahlil mengatakan, selama kurang lebih tiga tahun memimpin kepengurusan HIPMI Papua pihaknya telah mendorong serta memberikan peluang kepada lulusan perguruan tinggi untuk mengeluti dunia bisnis di tanah Papua.

Jajaran pengurus HIPMI Papua,lanjut Bahlil, terus mendorong serta menumbuhkan semangat wira usaha di kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi namun hasilnya hingga saat ini dirasakan belum maksimal.

HIPMI organisasi kumpulan pengusaha muda yang professional, tangguh dan mandiri siap memberikan dukungan kepada mahasiswa untuk mengeluti dunia bisnis, dan bentuk dukungan itu bisa berupa bimbingan manajemen,pencarian permodalan hingga menjadi anak angkat.

Ia mengakui, berdasarkan data keanggotaan pengusaha HIPMI di tanah Papua hingga 2011 tercatat sekitar 3.000 lebih pengusaha muda bergerak di berbagai sektor usaha,kecil dan menengah siap membantu pengembangan semangat wirausaha bagi lulusan perguruan tinggi.

Dari 3.000 keanggotaan HIPMI Papua sekitar 40 persen merupakan pengusaha asli Papua, ya jumlah ini diharapkan terus bertambah sejalan road show wirausaha HIPMI ke berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah Papua.

Jenis usaha pengusaha muda anggota HIPMI Papua, mulai dari sektor riil seperti bisnis pertokoan, tambal ban mobil/motor,bengkel hingga pengusaha kontsruksi ,distributor barang dan usaha produktif lainnya.
(kompas.com)

Pemerintah Langgengkan Kerusakan Moral

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida menilai pemerintah melanggengkan praktek-praktek yang merusak moral bangsa. Parahnya, kerusakan moral itu juga disosialisasikan dan internalisasikan ke dalam dunia pendidikan.

"Kerusakan moral generasi muda bangsa dan penyelenggara pendidikan di negeri ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Sebab, kebijakan pendidikan yang mendorong munculnya kecurangan, seperti ujian nasional tetap dipertahankan. Hal ini semata-mata dengan pertimbangan harus mempertahankan proyek," tutur Laode, Kamis (16/6) di Jakarta, menyikapi persoalan ketidakjujuran dalam ujian nasional (UN) SD yang diungkapkan orangtua siswa.

Menurut Laode, DPD merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghentikan UN yang menjadi biang masalah merebaknya kecurangan-kecurangan di daerah. Para guru hanyalah korban dari ambisi pemerintah pusat dan daerah untuk meraih gengsi dalam pendidikan, bukan mengutamakan kepentingan dan masa depan siswa.

"Presiden yang harus menjadi garda terdepan untuk menghentikan praktek-praktek ketidakjujuran di sekolah. Hentikan dulu UN. Fokus dulu pada memberbaiki kondisi guru yang sekarang tidak lagi nyaman bekerja karena sarat intervensi," kata Laode.

Ketua Komite III DPD Istibsjaroh mengatakan, tujuan UN yang dikatakan pemerintah untuk memetakan pendidikan juga masih gagal. Nyatanya, perbaikan pendidikan yang merata belum terjadi. Justru siswa yang menjadi korban tidak lulus karena layanan pendidikan yang didapat minim.

"Presiden mesti bertindak menghentikan UN. Kita harus memperbaiki secara serius soal dekadensi moral dalam dunia pendidikan akibat kebijakan pemerintah yang tidak pas," ungkapnya.
(kompas.com)

Keputusan Nuh Bukti Ketidakjujuran

Pernyataan Menteri Pendidikan Nasional M Nuh yang menyimpulkan tidak ada kecurangan berupa mencontek massal dalam pelaksanaan Ujian Nasional 2011 di SD II Gandel, Surabaya, Jawa Timur, dinilai sebagai bukti bahwa ketidakjujuran sudah menjadi kultur para pemegang kekuasaan di pemerintah.

"Ketika Menteri Pendidikan M Nuh melakukan pembelaan, saya semakin yakin bahwa ketidakjujuran sudah jadi budaya, sudah jadi kultur dari pemegang pemerintahan ini," kata Hardi, budayawan saat diskusi Radio Trijaya bertema "Tragedi Siami dan Negeri Kleptokrasi" di Jakarta, Sabtu (18/6/2011).

Hardi menilai, keputusan itu hanya untuk meredam amarah para wali murid terhadap sikap Siami (32) yang mengungkapkan kepada media adanya contek massal. Para wali murid takut jika UN diulang. Amarah itu lalu berujung pada mengungsinya keluarga Siami ke Gresik. "Klarifikasi itu supaya ibu Siami bisa pulang saja," kata dia.

Lukman Hakim, Wakil Ketua MPR, mempertanyakan mengapa Nuh bersikap defensif terkait kasus Siami. Padahal, kata dia, perbedaan jawaban setiap siswa sudah jelas karena Aam (13) alias Alifah Ahmad Maulana, putra Siami, tidak memberikan semua jawaban yang benar kepada teman-temannya.

"Kesimpulan tidak ada contek massal karena jawaban berbeda-beda itu harus diteliti lagi. Menurut saya, akan lebih arif para penyelenggara negara introspeksi diri," ucap dia.
(kompas.com)

Akses pendidikan harus adil

Dewan Pendidikan (DP) Sumatera Utara (Sumut) meminta kepada sekolah-sekolah unggulan menyediakan kuota kepada siswa miskin dalam penerimaan siswa baru (PSB) yang sedang berlangsung saat ini.

“Prinsip keadilan dan akses layanan pendidikan bagi setiap warga negara harus mendapat prioritas pada setiap momentum penyelenggara pendidikan di Tanah Air.Ini merupakan amanah undang-undang dan komitmen negara,” tegas Sekretaris Dewan Pendidikan Sumut Mahdi Ibrahim,kemarin.

Mahdi menyebutkan,setiap awal tahun pembelajaran, Dewan Pendidikan sering mendapatkan keluhan dari kalangan masyarakat tentang berbagai kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan. Salah satunya dalam sistem PSB yang seringkali dilakukan dengan tidak transparan dan berkeadilan.

“Kita tahu nilai ujian akhir adalah variabel yang digunakan dalam sistem penerimaan siswa baru, tetapi sering pula dilakukan tidak konsisten.Malah dimunculkan sistem di luar itu yang kadang kala warnanya abu-abu dan tidak populer. Yang kasihan kan anak-anak yang orangtuanya kurang mampu tapi memiliki kompetensi lebih,”ujarnya.

Jika ini terus-menerus terjadi setiap tahun, kata Mahdi, maka pendidikan di Indonesia tidak akan berkeadilan.Padahal undang-undang menyebutkan bahwa pendidikan bermutu dan layak adalah hak setiap warga negara. “Di sinilah perlunya kebijakan yang memungkinkan anak-anak pintar dari keluarga kurang mampu dapat diterima di sekolah unggulan di setiap kabupaten/kota,”jelas Mahdi.

Prinsip keadilan itu tidak hanya bagi sekolah yang berstandar nasional, namun juga rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) atau sekolah berstandar internasional (SBI).. Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, Hasan Basri, menyatakan, penerapan pendidikan berkeadilan dan berkarakter sudah dan sedang dijalankan saat ini.

Hal itu terbukti dalam bentuk program program dan ketersedian APBD Medan. Khusus untuk dukungan terhadap siswa miskin untuk keberlangsungan pendidikannya, Pemko Medan menyediakan dana mencapai Rp3,9 miliar. Dana tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran siswa miskin.

Pemko Medan juga menyediakan dana untuk transportasi bagi siswa miskin mulai tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP) senilai Rp850 juta. “Peruntukan dana ini juga harus jelas dan terukur.Artinya, kita tidak ingin salah sasaran dalam pemberian bantuan ini.

Yang menerima benar benar siswa miskin,”jelasnya. Sedangkan untuk kegiatan PSB, tidak hanya bagi siswa berlatar belakang kurang mampu, siswa berkecukupan lebih juga bisa bersekolah di negeri. Asalkan, siswa siswa tersebut memenuhi syarat. “Siswa miskin berprestasi,pasti bisa diterima sekolah negeri apa pun,namun jika tidak berprestasi maka harus bersaing,” pungkas Hasan.

Adapun untuk sekolah swasta, Hasan menyerahkan sepenuhnya kewenangan kepada pihak sekolaht.Sebab,sekolah swasta bertanggung jawab terhadap yayasannya.Pun begitu, untuk memenuhi bentuk tanggungjawab sosialnya, sekolah swasta sebaiknya menyediakan kursi bagi siswa kurang mampu.
(waspada.co.id)
Saturday, 18 June 2011

Menyontek Massal Dipicu Kebijakan Pemerintah

Dinas Pendidikan Nasional Surabaya menjatuhkan sanksi terhadap tiga orang yakni kepala sekolah dan dua guru dalam kasus dugaan menyontek massal di SD Gadel II, Surabaya, Jawa Timur. Namun sanksi tersebut dinilai tidak adil.

Hal ini dikatakan Sekretaris Forum Guru Bandung Iwan Hermawan saat diskusi di Polemik Trijaya, Jakarta, Sabtu (16/6/2011).

“Saya tidak setuju guru dihukum, ini bukan kesalahan dari guru tetapi ketidakjujuran struktural. Kebijakan pemerintah yang mendorong melakukan itu, Reputasi kepsek didasarkan nilai ujian nasional 4 tahun sekali,” kata Iwan.

Belum lagi, tambah Iwan, ada tekanan dari pihak luar dan pejabat agar nilai ujian nasional suatu sekolah harus bagus.

“Bupati, wali kota selalu menekan ujian nasional harus bagus. Tekanan ini berjenjang, guru ditekan kepsek, kepsek ditekan bupati, wal kota, ditekan gubernur, ini masalah UN,” tegasnya.

Dia menilai jika hanya menyalahkan guru adalah tidak fair. “Mulai tahun depan tidak usah ada UN saja,” usulnya.

“UN hanya melihat dengan angka, sehingga hasil pendidikan hampir tidak berkontribusi
pada peningkatan moral bangsa. Harusnya komprehensif, cerdas mengelola raga, cerdas mengelola rasa,” sambung Iwan.
(okezone.com)

Kuliah Mahal Hanya Lahirkan "Tukang"

Mahalnya biaya pendidikan di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bisa berdampak negatif bagi mahasiswa. Pasalnya, ada kecenderungan setelah lulus nanti, mahasiswa akan berorentasi mengembalikan biaya pendidikan yang telah dikeluarkan.

”Dengan biaya pendidikan mahal, maka perguruan tinggi tidak akan bisa mencetak ilmuwan sejati,” kata Topan Hidayat, salah satu lulusan Universitas Airlangga (Unair) kemarin.

Alumnus yang kini sebagai pengacara senior ini mengaku, dia yakin lulusan PTN yang membebani biaya tinggi tidak akan bisa mencetak lulusan yang idealis. Menurut dia, lulusan-lulusan itu akan menjadi ”tukang”.

Artinya dia akan menjadi tukang menggadaikan idealisme yang dimiliki. Biaya mahal hanya akan meracuni cara berpikir mahasiswa untuk segera mendapatkan kerja dan mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah. ” Karena pendidikan dikomersialkan, maka lulusannya juga akan mengkomersialkan juga,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Jawa Timur, Zainuddin Maliki mengatakan, pola pemikirian di dunia pendidikan harus diubah dengan cepat. Setiap proses pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi harus membangun karakter pendidikan dengan benar. Jangan sampai, pendidikan hanya mengedepankan biaya tinggi tetapi kualitas tidak pernah diperhatikan.

”Saya rasa harus ada pembentukan karakter di dunia pendidikan. Perubahan harus segera dilakukan,”katanya. (okezone.com)

KPKB Lapor ke Ombudsman

Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) akan melaporkan berbagai temuan pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2011/2012 kepada Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat.

Salah satu temuan tersebut adalah penolakan secara halus kepada siswa miskin M. Rizki Faisal (12) oleh guru di SMPN 2 Bandung. "Laporan tersebut secara resmi akan disampaikan Selasa (21/6). Saat ini kami terus mengumpulkan temuan lainnya," kata Koordinator KPKB Fridolin Berek kepada wartawan, Jumat (17/6).

Pelaporan pada Ombudsman kata Frido, terpaksa dilakukan agar ada efek jera bagi para pelanggar setiap kali PPDB berlangsung. Saat ini, Dinas Pendidikan dianggap belum pernah memberikan teguran secara keras.

"Minimal untuk diumumkan ke publik, tidak juga dilakukan. Berulangnya kasus karena memang efek jeranya berupa sanksi tidak pernah ada," tegasnya.

KPKB saat ini terus mengumpulkan semua laporan dan temuan kasus pelanggaran. Dalam jadwal, penerimaan jalur nonakademis akan berakhir Sabtu (18/6). Untuk kasus di SMPN 2, KPKB mendapati pelanggaran dengan tidak disediakannya meja informasi untuk PPDB. Akibatnya masyarakat dipingpong dan tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya.

Bahkan informasi untuk sekadar jadwal serta persyaratan, baik untuk jalur akademis maupun nonakademis tidak dipampangkan di areal sekolah. "Akhirnya masyarakat bertanya sana-sini, bahkan masuk ke ruang guru dan kepala sekolah. Ini jelas sudah melanggar SK serta juknis PPDB 2011," terangnya.

Terkait Rizki, KPKB sudah menawarkan diri untuk membantu memberikan pendampingan agar mendaftar kembali ke SMPN 2. "Tetapi secara psikologis, Rizki sudah tidak mau. Karenanya, kami akan mendampingi Rizki ke SMPN 7, Sabtu (17/6) untuk pendaftaran jalur nonakademis. Apalagi pilihan ke SMPN 7 secara geografis juga lebih dekat, karena tidak perlu mengeluarkan ongkos," tuturnya.

Ditutup-tutupi

Frido juga mengatakan, KPKB telah mendapati laporan lainnya terkait adanya dugaan adanya jual beli kursi di salah satu SMP di wilayah Kiaracondong. Hal itu terindikasi dengan laporan yang diumumkan ke masyarakat, jika SMP tersebut hanya menerima siswa baru dengan kuota 207 orang saja.

"Padahal, sekolah itu menerima hingga 9 rombongan kelas (rombel). Jika di dalam satu kelas terdapat 40 siswa, maka secara logika harus menerima siswa 360 siswa. Dengan diumumkan 207 siswa saja, dikemanakan sekitar 4 rombel lebih," tuturnya.

Frido memandang, temuan menutup-nutupi kuota sebenarnya jumlah penerimaan siswa baru tidak hanya sekolah di Kircon saja. Melainkan di sebagian besar sekolah lainnya. Karena itu, KPKB juga secara resmi akan melayangkan surat tidak hanya pada Ombudsman. Tapi juga kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung, agar memperpanjang penayangan serta jumlah kuota di website PPDB online.

"Ditayangkan hingga pertengahan semester di awal pembelajaran. Hal itu agar tidak siswa siluman yang tiba-tiba bisa masuk ke sekolah, padahal tidak sesuai dengan kuota di awal," ungkapnya.

Dewan menyayangkan

Sementara itu, Komisi D DPRD Kota Bandung sangat menyayangkan adanya penolakan terhadap siswa miskin di SMPN 2 Bandung. Meski dilakukan secara halus, penolakan tersebut seharusnya tak dilakukan. Sebab tiap sekolah harus menerima siswa dari kalangan tak mampu, tak terkecuali Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

Hal tersebut diungkapkan Ketua komisi D DPRD Kota Bandung, Achmad Nugraha. Achmad menilai pihak sekolah sombong, sebab menolak siswa hanya karena tak memiliki laptop. Padahal, siswa dari kalangan tak mampu pun memiliki hak yang sama untuk bersekolah.

"Saya sempat kaget mendengar informasi tersebut. Kejadian tersebut sangat disayangkan, dan merupakan pelanggaran. Tak etis seorang guru mengatakan hal seperti itu," ujarnya.

Sekolah mana pun, termasuk RSBI harus menerima siswa dari kalangan tak mampu. Karena bisa saja anak yang bersangkutan pintar, namun tak beruntung dari segi ekonomi. "Sangat terlihat kalau memang RSBI itu komersial," terangnya.

Diakui Achmad, peraturan pemerintah memang sangat memprihatinkan. Di satu sisi, pendidikan dasar tingkat SD dan SMP digratiskan. Namun di sisi lain ada RSBI di tingkat SMP, di mana untuk sekolah ini perlu ada biaya yang dikeluarkan.

"Warga tak mampu harusnya dilindungi dan semua sekolah pun harus memahami aturan terkait adanya jalur nonakademis. Yakni untuk kalangan tak mampu dan berprestasi," ungkapnya sembari menambahkan, RSBI pun harus membuka kelas reguler.

Terkait permasalahan ini, Komisi D pun akan mengevaluasi pelaksanaan PPDB dengan disdik dan perwakilan kepala sekolah. "Sebelum memanggil disdik untuk minta penjelasan, kami akan rapat internal komisi D dulu," ungkapnya.

Ke depan ia mengharapkan, kejadian seperti ini tak ada lagi. Sebab persoalan warga miskin ini selalu muncul tiap tahun, meski dalam aturan sudah tercantum dengan jelas. "Tiap tahun persoalan yang sama sering muncul, harusnya ada perbaikan. Kami berharap di tahun-tahun kemudian, ini tak terjadi lagi," harapnya.
(klik-galamedia.com)

Pengetahuan Siswa Miskin RI Lebih Baik dari Siswa Inggris

Apakah kemiskinan membuat orang bodoh? Apakah siswa dengan kondisi ekonomi lemah (miskin) nilai sekolahnya pasti buruk, akan terus mengalami kemiskinan dan susah mendapat pekerjaan?

Menurut penelitian yang dilakukan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), hal ini tidak akan terjadi jika para siswa rajin sekolah. Menurut penelitian terbaru yang dihelat OECD, siswa miskin di Indonesia memiliki pengetahuan lebih baik dibandingkan anak dengan kondisi sama di Inggris.

Penelitian ini dilakukan pada 2009 atas 65 negara OECD. Penelitian menguji kemampuan matematika, membaca, dan tes ilmu pengetahuan siswa usia 15 tahun. Dalam penelitian ini, Indonesia menempati peringkat 36, di atas Inggris (39) dan Jerman (42). Negara Asia Tenggara yang ada masuk daftar adalah Singapura di peringkat 5 dan Thailand (29). Namun penelitian tidak menjelaskan mana yang masuk kategori miskin. Demikian seperti dilansir dari BBC dan OECD, Sabtu (18/6/2011).

Data OECD menunjukkan, 31 persen anak miskin yang “ulet” di 65 negara berhasil meraih nilai rata-rata internasional dalam tes tersebut. Dalam penelitiannya, OECD berusaha mempelajari apakah siswa dengan kondisi ekonomi lemah mampu berhasil secara akademis.

Daftar lima besar siswa miskin yang nilainya baik dihuni perwakilan Asia yaitu Shanghai, Hong Kong, Korea Selatan, Macau-China, dan Singapura. Menurut data, lebih dari 70 persen siswa miskin di China dan Hong Kong melebihi standar OECD (31 persen). Sementara Amerika Serikat, Perancis dan Australia berada di peringkat 27, 22 dan 21. Tiga negara maju ini nilainya pas rata-rata OECD (31 persen).

Para peneliti mengidentifikasi sejumlah faktor yang meningkatkan ketahanan para siswa di tengah kemiskinan mereka. Disebutkan bahwa rasa percaya diri merupakan faktor kunci yang membuat para siswa yakin bisa berhasil.

Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa mentoring sangat bermanfaat dalam pendidikan. Ditemukan juga bahwa kemampuan siswa miskin meningkat jika mendapat jam belajar tambahan di kelas. Selain itu, motivasi merupakan hal yang penting. Karena itu, sekolah lebih baik memotivasi para siswa ketimbang memberikan janji berupa hadiah atau insentif.

“Penelitian ini menunjukkan bahwa sekolah memiliki peran penting dalam meningkatkan ketahanan siswa miskin. Negara-negara ini bisa menyediakan lebih banyak kesempatan bagi siswa kurang beruntung belajar di kelas dengan mengembangkan kegiatan, praktik serta metode pengajaran yang mendorong motivasi belajar dan memupuk dan kepercayaan diri para siswa,” tulis laporan ini.
(okezone.com)

Revolusi Pendidikan Solusi Pergeseran Nilai

Polemik kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional setidaknya menjadi bukti adanya pergeseran nilai dalam sistem pendidikan. Sekolah adalah lembaga pendidikan dalam hal menanamkan sifat kejujuran, namun hal itu tercoreng dengan tindakan menyontek massal demi mengejar nilai UN yang tinggi.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Syaefudin mengatakan,  problem pendidikan nasional bukan hanya sistem dan orang yang terus diperdebatkan, tetapi juga telah terjadi pergeseran nilai.

"Bagaimana seorang guru demi kinerja dan kondite sekolahnya menyuruh muridnya menyontek. Padahal, orangtua membayar agar anaknya masuk sekolah, semua ini merambat sampai penyelenggara negara," paparnya dalam dalam diskusi "Polemik" Trijaya, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (18/6/2011).

Lalu apa solusinya? "Jadi solusinya harus ada revolusi pendidikan. Apa sih sebenarnya nilai yang ingin dibangun? Masyarakat diajak cepat instan, tapi nilai kejujuran semakin tergerus, hingga menyentuh Pancasila kita. Jadi nilai ini yang harus kembali kita samakan," tegas Lukman.
(okesone.com)

Privatisasi Pendidikan Ditolak

Pemenuhan hak pendidikan rakyat Indonesia, terutama kelompok marjinal, terancam. Kebijakan pendidikan nasional yang dijalankan saat ini semakin mengarah pada privatisasi, yang menuntut keterlibatan masyarakat untuk juga ikut menanggung biaya pendidikan,

Penolakan pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat dan pasar soal penyelenggaraan pendidikan itu digalang Education Network for Justice Indonesia selama 10 hari.

Pada acara dialog publik "Mengembalikan Kedaulatan Pendidikan Nasional Indonesia" di Jakarta, Selasa (31/5/2011), Education Network for Justice Indonesia yang diwakili Koordinator Nasional Eny Setyaningish menyerahkan petisi penolakan privatisasi pendidikan bertajuk kembalikan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah (Petisi-2015) kepada Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dan anggota Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian.

Privatisasi pendidikan di Indonesia, kata Eny, mendapat pembenaran dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Akibatnya, biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat semakin tinggi, akses masyarakat, terutama kelompok marjinal, rendah, dan kualitas pendidikan mengacu kepada kebutuhan pasar.

St Sunardi, pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengatakan, pendidikan sekarang sudah didekati dan dikelola ibarat sebuah korporasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran soal kesempatan pendidikan bagi mereka yang miskin dan tidak beruntung.

"Kesenjangan di masyarakat semakin tinggi. Selain itu, isi dan tujuan pendidikan jadi sempit, untuk mempersiapkan anak masuk ke pasar kerja," kata Sunardi.

Sunardi mencontohkan pendidikan pascasarjana sebagai lembaga strategis untuk mempersiapkan orang-orang yang memiliki kepemimpinan intelektual. Akan tetapi, nyatanya pendidikan pascasarjana menjadi ajang bisnis secara terang-terangan.

"Padahal, kita semua mesti mendorong pendidikan yang membebaskan dan transformatif menuju masyarakat yang humanis, pluralis, adil, kritis, antikekerasan, setara, dan berkeadilan jender," ujar Sunardi.

Fasli Jalal mengakui, kemampuan pemerintah masih terbatas untuk membiayai pendidikan. Konsentrasi pemerintah masih banyak tercurah di pendidikan dasar yang menyedot sebagian besar anggaran pendidikan nasional.

"Untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi memang terasa masih mahal. Masyarakat masih menanggung terbanyak dibanding pemerintah," kata Fasli.

Ahmad Erani Yustika dari Universitas Brawijaya, Malang, mengatakan, pendidikan Indonesia terperangkap intervensi birokrasi serta liberalisasi dan privatisasi pendidikan. Selain itu, proyek menginternasionalisasikan sekolah dan perguruan tinggi telah menimbulkan problem akses dan orientasi pendidikan.

Ahmad mengatakan, pemerintah mesti cermat betul terhadap dampak privatisasi dalam pendidikan. Identitas karakter bangsa bisa hilang. Akses pendidikan menjadi buat yang berduit karena pendidikan bukan lagi dilihat berdaya guna, melainkan lebih pada daya beli. Akibat lebih jauh, terjadi disorientasi kebijakan negara dalam ekonomi, politik, dan hukum.
(kompas.com)
Friday, 17 June 2011

Negeri Ini Miskin Keteladanan

Siami kini menjadisimbol kejujuran. Tindakannya yang melaporkan kejadian contek massal ujian nasional di SDN Gadel II, Tandes, Surabaya, kepada Komite Sekolah, ternyata membuatnya harus diusir warga sekitarnya.

“Kejujuran mahal sekali harganya. Apa yang dilakukan Ibu Siami bener-bener tulus. Beda kalau saya yang melakukan, pasti banyak yang berpikir tidak tulus, saya kan politisi,” kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung, di DPR.

Untuk diketahui, peristiwa pengusiran orang Siami itu bermula dari kejadian mencontek massal di sekolah Alif, anak Siami. Alif sebagai anak terpandai di kelas, diminta oleh gurunya untuk memberi contekan kepada teman-temannya.

Sampai di rumah, Alif mengadu kepada ibunya, Siami. Lantas, Siami melaporkan kejadian itu kepada Komite Sekolah, namun tidak ditanggapi. Alhasil, berita itu tercium media dan menjadi berita yang sampai ke telinga Walikota Surabaya. Buntutnya, pendidik dan kepala SDN II Gadel diberi sanksi berat.

MISKIN KETELADANAN

Menurut Pram, negara ini miskin keteladanan akan nilai-nilai kejujuran. Hal ini membuat pelbagai kasus korupsi marak terjadi. Maka, ia sangat menghargai apa yang telah diperjuangkan Siami. ”Menurut saya disimbolkan untuk menjadi Ibu Kejujuran itu tidak berlebihan,” ujarnya.

Anggota Komisi I DPR Effendi Choirie pun sependapat. Bahkan, ia menilai Siami sebagai simbol kejujuran nasional, sebab saat ini kita tidak punya lagi sosok yang jujur dan bisa dijadikan panutan. “Ibu Siami pantas menjadi simbol kejujuran,” katanya.

Namun, ia juga melihat, di balik adanya contek massal, karena saat ini sudah jarang tokoh negara yang jujur, sehingga anak-anak pun ketularan bertindak tidak jujur.
(poskota.co.id)

Siswa Miskin Diarahkan Tak Masuk RSBI Khawatir Tak Mampu Beli Laptop

Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Jogja mengarahkan para siswa pemegang kartu menuju sejahtera (KMS) tak memilih sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional). Meskipun secara syarat, baik tes nilai ujian nasional (unas) maupun psikotes, siswa tersebut memenuhi seluruh syarat.

Disdik khawatir, jika siswa dari keluarga kurang mampu tersebut masuk sekolah RSBI, bakal merasa minder. Terutama saat sekolah menyarankan mereka menggunakan peralatan IT seperti laptop.

’’Setiap sosialisasi ke orang tua siswa pemegang KMS, saya selalu menyarankan orang tua selektif memilihkan sekolah bagi anaknya. Tidak perlu memaksakan diri harus masuk ke RSBI,’’ kata Kepala UPT JPD Mawardi Dalga, kemarin (17/6).

Mawardi beralasan, siswa yang bakal masuk ke RSBI, pasti disarankan sekolah menggunkan laptop. Sebab, penggunaan peralatan IT merupakan salah satu dari kurikulum sekolah internasional ini.

’’Jika ini terjadi, seorang siswa tidak mampu tidak membeli laptop. Padahal, siswa lain menggunakan, pasti sang siswa akan merasa minder. Ini malah mengganggu program kegiatan belajar mengajar,’’ tuturnya.
Jika siswa tersebut minder, hal ini juga berdampak pada prestasi siswa. Ketidakmampuan mengikuti peralatan yang disarankan sekolah, membuat siswa tak mampu tersebut kualitas hasil belajarnya bakal turun.

Sebelumnya, Kepala Disdik Jogja Edy Heri Suasana menjamin, siswa KMS tetap bisa mengenyam pendidikan berbasis internasional. Siswa-siswa dari keluarga tak mampu ini bakal mendapat bantuan fasilitas dari JPD. ’’Kami akan usahakan untuk itu (mendapatkan fasilitas). Kan ada JPD yang akan membiayai kebutuhan siswa dari KMS,’’ katanya.

Soal pembiayaan bagi siswa KMS ini, APBD Kota Jogja mengalokasikan anggaran JPD tahun ini sejumlah Rp 16,6 miliar. Dana tersebut, bakal diberikan kepada 14.234 siswa pemegang KMS mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK.

Rincian siswa yang bakal mendapatkan pembiayaan untuk JPD, TK sebanyak 1.601 siswa, SD sebanyak 6.338 siswa, SMP sebanyak 3.232 siswa, SMA sebanyak 608 siswa dan SMK sebanyak 2.446 siswa. Sedangkan untuk termasuk siswa baru dengan rincian SMP sebanyak 851 siswa di sekolah negeri dan 212 siswa di sekolah swasta. Sedangkan siswa SMA sebanyak 129 siswa dan SMK sebanyak 888 siswa.

Pembiayaan dana tersebut, diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 19 Tahun 2010 tentang pemberian JPD. Sesuai perwal tersebut, setiap siswa TK memperoleh dana JPD sebesar Rp 700 ribu per tahun, kemudian SD; Rp 700 ribu per tahun, SMP; Rp 1.150.000 per tahun, dan SMA; Rp 2.350.00 per tahun. Lalu SMK memperoleh dana Rp 3.300.000 per tahun.

Terpisah, Plt Kepala Sekolah SMPN 8 Drs Martoyo mengakui, seluruh siswa di sekolahnya mayoritas menggunakan laptop untuk KBM. Tapi, peralatan komputer jinjing tersebut tidak diwajibkan bagi seluruh siswa menggunakan.

”’Untuk tahun lalu masih ada kelas non-RSBI di SMPN 8, namun tahun ajaran baru ini seluruh kelas di SMPN 8 RSBI semua. Kami tidak mengharuskan seluruh siswa menggunakan laptop. Tapi, metode pembelajaran di kelas RSBI berbasis IT, jadi kebanyakan siswa tetap menggunakan laptop,’’  tuturnya.
(radarjogja.co.id)

Komersialisasi Pendidikan Masih Terjadi

Pemerintah pusat telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah pun tak tanggung-tanggung dalam menggelontorkan dana untuk membantu masyarakat agar bisa mengenyam pendidikan, juga untuk menekan angka putus sekolah. Program BOS pun terus digenjot untuk membantu siswa tak mampu agar bisa bersekolah. Bahkan, dengan adanya BOS ini, pihak sekolah dilarang untuk memungut biaya pendidikan dari siswa.

Sayangnya, kendati pemerintah berusaha keras untuk meringankan biaya pendidikan melalui berbagai cara, namun komersialisasi pendidikan masih saja terjadi. Parahnya, komersialisasi pendidikan ini terjadi di semua level pendidikan, dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Dengan berbagai dalih, pihak sekolah masih saja melakukan pungutan dari siswa. Kasus yang paling sering terjadi adalah saat penerimaan siswa baru.

Permasalahan seputar proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang nyaris berulang setiap tahun ajaran baru, menuai keprihatinan dari sejumlah kalangan di Kota Banjar.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjar, Drs Ade Setiana, meminta pihak Dinas Pendidikan agar memperketat pengawasan terhadap sekolah-sekolah. Dia juga mengatakan telah membuka posko pengaduan bagi masyarakat umum yang hendak berkonsultasi mengenai permasalahan penerimaan siswa baru.

“Kami siap membantu. Posko Paguyuban Bale Rahayat ada di Dusun Sumanding, samping kampus Stikes Bina Putera,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjar, Drs Ade Setiana.

Kejadian pungli seputar PPDB di kota Banjar harus diwaspadai pula di Kabupaten Ciamis, karena kejadian di kota Banjar bisa terjadi juga di Ciamis. Hal tersebut dilontarkan ketua LSM Gempur Ciamis, Saepuddin SH, MH.

Pernyataan Asep Nurdin di Banjar, memang harus disadari oleh para insan pendidikan di tanah air. Ya, komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh hampir sebagian besar sekolah yang ada di negeri ini adalah bukti bahwa mereka telah merampas hak masyarakat kecil untuk mendapatkan pendidikan.
(tubasmedia.com)

Diskriminasi Penerimaan Siswa Baru

Menjelang penerimaan siswa atau peserta didik baru tahun ajaran 2011-2012, benih-benih nepotisme dan kolusi mencuat.

Jalur khusus penerimaan peserta didik baru (PPDB) berlabel jalur mandiri, mengundang diskriminasi pendidikan. Jalur ini memberi jatah anak pejabat, bebas hambatan persyaratan yang berlaku umum.

Dinas Pendidikan Nasional memberi jatah bangku di sekolah-sekolah negeri favorit. Proporsi jatah bangku antardaerah cenderung berbeda, termasuk kuota PPDB asal-usul daerah calon peserta didik.

Di Kota Pontianak misalnya, tahun ini Disdik tetap memberlakukan kuota lima persen untuk perserta luar kota. Penetapan kuota ini bisa ditolerir, karena pengelolaan sekolah negeri menjadi tanggungjawab dan berpijak keuangan Pemda masing-masing.

Yang bermasalah, pelegalan siswa titipan pejabat, seperti di Kota Kediri, Jawa Timur. Putra-putri pejabat diberi kuota 10 persen dari daya tampung sekolah favorit. Kebijakan PPDB ala Orba ini, jelas melanggar UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan sama mengenyam pendidikan. Anak petani, nelayan, pengusaha, politikus, pejabat Muspida sampai presiden, sama kedudukannya. Tak boleh ada diskriminasi, prioritas maupun privilege.

Tak ada hak khusus kekebalan yang diberikan negara untuk kelompok terbatas, baik atas kelahiran maupun bersyarat. Mendiknas M Nuh tak boleh hanya menilai jalur Mandiri sebagai kebijakan memalukan.

Tidak juga cukup mengimbau daerah-daerah agar tak memberlakukan kebijakan diskriminatif dalam PPDB yang dimulai 4 Juli mendatang. Kemendiknas wajib menindak Disdik yang memberlakukan kebijakan diskriminatif, karena melawan UU.

Fungsi monitoring dan pengawasan ketat selama PPDB wajib dilaksanakan. Jika tidak, potensi distorsi kebijakan relatif terbuka. Tahun ini, PPDB hanya menggunakan dasar nilai ujian nasional (NUN) murni. Sistemnya beda dengan tahun lalu yang menggunakan NUN plus tes.

                                                                                                                          Benteng Terakhir
Pertimbangannya, syarat NUN dan tes rawan kolusi dan penyelundupan siswa titipan. Motifnya, uang dan sumbangan gedung. Fenomena kapitalisasi, komersialisasi dan privatisasi yang mengancam dunia pendidikan.

Kesempatan sama bagi anak-anak bangsa menimbah ilmu berkualitas menjadi terbatas. Kebijakan Kemendiknas mengakomodir siswa berprestasi dari keluarga miskin, berpotensi melenceng dari good will penyediaan mutu pendidikan yang adil.

Indikasinya, kini sekolah-sekolah favorit berdalih sulit mendapat calon siswa miskin. Di tingkat perguruan tinggi negeri (PTN) juga "mengeluhkan" kelangkaan calon mahasiswa miskin yang berprestasi.

Padahal, sesuai amanat PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, semua PTN wajib menampung 20 persen mahasiswa miskin yang mempunyai kompetensi akademik memadai.

Kran jalur khusus sebagai simbol komersialisasi dan diskriminasi pendidikan coba dibuka, baik di sekolah dasar, menengah dan atas maupun PTN. Risikonya, sekolah-sekolah berkualitas sarat anak-anak orang kaya dan anak pejabat, bukan anak warga miskin yang cerdas.

Kita wajib mencegah penodaan keadilan pendidikan ini. Sektor pendidikan wajib kita selamatkan bersama. Jangan sampai dimensi pendidikan mengalami dekadensi, sebagaimana yang mengguncang sektor hukum dan politik di negeri kita.

Pendidikan harus kokoh sebagai benteng terakhir karut-marutnya negeri kita saat ini. Mari cegah diskriminasi dan komersialisasi PPDB di Bumi Khatulistiwa. Para kepala daerah sebagai tampuk tertinggi kekuasaan di daerah, wajib mengamalkan pendidikan adil dan murah bagi semua warga.

Transparansi PPDB, baik terkait syarat NUN, daya tampung dan biaya, jadi paramater ada-tidaknya diskriminasi dan komersialisasi pendidikan. Edukasi berkualitas siswa dan mahasiswa miskin yang cerdas, sejatinya "pintu" mengentas ketertinggalan dan kemiskinan Kalbar.

Prinsipnya, makin banyak sumber daya manusia berkompetensi tinggi, kesuraman hidup warga Kalbar berangsur terkurangi. Ragam masalah sosial pun tereduksi seiring membaiknya mutu warga Kalbar yang terukur melalui indeks pembangunan manusia. Semoga!
(Tribunnews.com)
Thursday, 16 June 2011

Kabar Pendidikan

Website ini dihadirkan untuk menjadi referensi web lengkap tentang kabar-kabar pendidikan di Indonesia.
Website ini juga bisa dipakai untuk melakukan penelitian dunia pendidikan masa kini.
 
© Copyright 2010-2011 Pendidikan All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.